Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antiklimaks Revisi Pasal "Karet" UU ITE

20 Mei 2021   14:52 Diperbarui: 20 Mei 2021   14:55 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 15 Februari 2021 yang lalu, Presiden Jokowi berniat merevisi pasal-pasal "karet" yang terdapat pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, jika diperhatikan dari 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-15 pada tanggal 23 Maret 2021 yang lalu, UU ITE tidak menjadi agenda prioritas revisi.

Hal ini turut dipertegas oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, pada tanggal 29 April 2021, bahwa tidak akan ada revisi UU ITE (detik, 29/4). Pihak pemerintah hanya membuat pedoman teknis kriteria implementasi dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian dan lembaga, yakni Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri.

Dalam terminologi hukum, pasal-pasal "karet" mulai sejak berlakunya Wetboek van Straftrecht (WvS) hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dijadikan sebagai pedoman dalam UU ITE yang mengandung delik ujaran kebencian, pencemaran nama baik, permusuhan, dan penghinaan terhadap pemerintah disebut dengan istilah Haatzai Artikelen.

Haatzai Artikelen

Adalah G. van Loon, seorang editor koran Het Niews van den Dag, dijatuhi hukuman penjara selama delapan hari oleh Pengadilan Batavia pada tahun 1914 karena tulisannya dianggap dapat menimbulkan kebencian di kalangan sesama penduduk Eropa di Hindia Belanda. Namun, pada Januari 1915, Pengadilan Tinggi Hindia Belanda membatalkan putusan tersebut karena pasal-pasal yang dikenakan kepada van Loon dianggap tidak berlaku bagi sesama golongan penduduk Eropa di Hindia Belanda. Perasaan anti-Jerman sangat kuat melanda kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda muncul saat perang berkecamuk di Eropa pada awal abad ke-20 sehingga surat-surat kabar di Batavia dan Surabaya terpengaruh dan terseret untuk memuat percikan perasaan tersebut (Dijk, 2007).

 

Padahal sasaran norma yang terkadung dalam pasal-pasal kebencian tersebut dibatasi hanya berlaku pada ungkapan untuk kelompok masyarakat yang berbeda, yakni golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera (Shidarta, 2018). Dengan pertimbangan tersebut, Pengadilan Tinggi Hindia Belanda membatalkan putusan Pengadilan Batavia terhadap van Loon.

 

Dalam konteks hukum masa kolonial, tindakan van Loon ini dianggap sebagai penyebaran rasa kebencian (Haatzai Artikelen). Pemerintah kolonial Belanda menganggap penyebaran rasa kebencian tersebut sebagai upaya memprovokasi masyarakat untuk menggoyahkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu. Ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah selalu dipandang sebagai upaya menghalangi pemerintah dalam menjalankan fungsi tertib sosial tadi.

Haatzai Artikelen merupakan perspektif hukum warisan kolonial Belanda yang hingga kini dianggap sebagai ketentuan yang masih dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdapat pada Pasal 134, 136 bis, 137 ayat (1), 154, 155, dan Pasal 156a dengan penekanan adanya penghinaan, kebencian, dan permusuhan kepada pemerintah atau golongan tertentu. Di masa Orde Baru, Pasal 154 dan Pasal 156 ini kedudukannya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/Kr/1973.

Secara historis, Haatzai Artikelen sendiri tidak berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Straftrech) di Belanda. Seharusnya, apabila Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan Belanda, maka dalam penerapan asas konkordansi dalam pembuatan dan penerapan hukum, apa yang diterapkan di Belanda juga berlaku di Hindia Belanda, termasuk Haatzai Artikelen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun