Mohon tunggu...
Paradha Wihandi Simarmata
Paradha Wihandi Simarmata Mohon Tunggu... Lainnya - Orang yang masih sangat bodoh..

Ja Sagen!!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jangan Ada Perang di Antara Kita

15 Oktober 2019   17:03 Diperbarui: 15 Oktober 2019   17:22 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambangsoesatyo.info

Pada tanggal 10 Oktober 2019, media harian CNN melansir, Presiden Jokowi menyatakan sikap untuk berperang melawan radikalisme. Sikap tersebut, tegas beliau ucapkan pasca penusukan Menko Polhukam Bapak Wiranto. Panglima TNI periode 1998-1999 ditusuk dengan senjata tajam oleh pria asal Pandeglang, Banten. Beliau ditusuk disaat ingin memberi pembekalan di Universitas Mathlaul Anwar Banten.

Pelaku penusukan Wiranto bernama Syahril Alamsyah (SA). SA merupakan anggota dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Bekasi. JAD sendiri diduga telah berafiliasi dengan ISIS. Senjata tajam yang dilayangkan oleh SA mengenai dinding perut Wiranto. Kontan beliau dilarikan ke rumah sakit terdekat. Polisi dengan sigap mengamankan pelaku penusukan.

Paska penusukan tersebut membuat Presiden Jokowi gusar. Beliau intens mendengar informasi mengenai salah satu menteri terbaiknya. Sikap Pak Jokowi menyatakan perang terhadap radikalisme memang tidak salah, beliau pasti mengambil sikap tersebut setelah dipikirkan matang-matang. Namun, apakah perang menjadi jalan terbaik? Siapakah yang rugi diatas peperangan? Apakah radikalisme memang harus dibasmi?

Pembenaran Perang

Bila dilihat di sepanjang sejarah, jika seseorang ingin mengetahui, apakah dalam sebuah peperangan terdapat sebuah keadilan? Setiap orang akan dianjurkan untuk menanyakannya kepada pemerintah yang telah memenangkan peperangan, sejarawan dan juga guru sejarah di sekolahan. Tidak sedikit yang menceritakan begitu heroiknya pemimpin saat itu berperang. Namun, sangat sedikit yang beropini mengenai penderitaan tentara biasa, polisi biasa, dan juga masyarakat sipil yang ikut terlibat.

Perang mengenai ideologi bukan sekali tercatat dalam lembar sejarah Indonesia. Organisasi yang membawa ideologi radikal seperti: PRRI, Permesta, DI/TII, PKI, dan yang terbaru HTI, telak dibubarkan. Tak jarang senjata api ikut turun untuk meredam kobaran semangat radikal organisasi tersebut.

Lihatlah, film dari "Penghianatan G30S/PKI" yang di sutradarai oleh Arifin C. Noer. Film itu dirililis secara komersial pada tahun 1984. Arifin yang menjadi sutradara tersebut mengambil skenario dari sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh. Noer ditugaskan menyusun film tersebut oleh Pusat Produksi Film Negara (PFFN), yang mempunyai kontrol penuh oleh negara.

Murid-murid sekolah diwajibkan menonton film tersebut setiap tanggal 30 September. Dalam film tersebut, Soeharto menjadi pahlawan dalam memimpin penumpasan PKI. PKI yang dengan kejamnya membantai 7 pahlawan revolusi, tampak jelas skemanya pada adegan tersebut. 

Kesan banyak orang menjadi jelas, bahwa PKI memang layak dibasmi, dan Soeharto dieluhkan atas kepemimpinannya menumpas PKI. Dalam film tersebut, Arifin tidak tertarik bagaimana perasaan korban yang mungkin tidak tahu-menahu mengenai PKI, namun tetap dibantai. Dia juga tidak tertarik mengenai perasaan tentara yang dikerahkan, berlari, terbunuh dan juga mati.

Pada film yang berbeda, ditampakkan bahwa seorang adik mencari abangnya yang hilang setelah dibawa oleh beberapa orang. Abangnya diduga pernah menerima bantuan dari PKI. Dikabarkan abangnya ikut diberondol dan mati di buang ke sungai ular Langkat, Sumatera Utara. Dalam film dokumenter berjudul Jagal tersebut, dikabarkan bahwa ratusan orang mati secara sadis, bahkan saking sadisnya membuat beberapa algojo penumpas mengalami masalah psikologis.

Ketika, melihat dan menganalisis kedua film tersebut, sudah barang tentu banyak sekali darah yang tumpah atas peristiwa itu. Peperangan mempertahankan ideologi begitu sangat menyeramkan. PKI yang ditumpas atas visinya mengubah ideologi negara memang harus dihilangkan. Namun apakah harus dengan cara demikian? Jika orang-orang yang dibunuh berpihak pada PKI, kematiannya atas dasar hukuman dan pemberontakan. Jika orang-orang yang mati membela NKRI, kematiannya untuk sebuah perjuangan yang bermakna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun