Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu-Kupu Serigala

26 Mei 2011   16:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belasan tahun lalu kota ini sempat menjadi tempat paling surga baginya. Jalanan becek yang berkubang, becak pengangkut karung-karung goni berisi beras hangat yang baru keluar dari pabrik penggilingan, bau asam keringat bocah ingusan, lalat yang hinggap pada kudis  meruam di kaki anak kecil yang meraung mencari ibunya,sampai pada pengeras suara masjid yang mulai soak. Semua masih indah. Sampai pada suatu hari.

Kota itu bukan kota besar dengan gedung menjulang langit atau berpenduduk dengan sekolah tinggi penuh wibawa. Semua carut marut ada di sini. Hampir tak ada yang berbicara dengan tutur elok. Makian di sela perkataan bukan lagi nampak seperti umpatan, jauh dari pantang larang seharusnya. Sudah biasa, tak mengherankan.

Di ladang atau pinggir jalan, biasa terlihat ibu-ibu dengan mulut mengkerucut berjalan di belakang anaknya sambil mengacungkan kayu setebal balok, mengancam anaknya yang ketahuan maling uang dari saku dasternya sendiri. Atau istri yang tengah malam berteriak di muka warung tuak mempermalukan suami yang sudah dua malam tak pulang karena dimabuk arak. Menenteng jerigen berisi bensin dengan korek di tangan, siap membakar warung.

Dia lahir dan meremaja di kota ini, meski bukan penduduk asli. Ayahnya yang tukang kawin adalah pendatang dari kota lain yang terdampar demi mengejar wanita pujaan. Bukan wanita sungguhan sebenarnya, hanya seekor kupu-kupu bersayap merah muda dengan totol-totol ungu di tepian sayap. Dia tak pernah suka pada wanita siluman kupu-kupu tadi. Dia jijik pada warna sayap yang tampak binal. Puas ayahnya mencari cara agar dia memanggil kupu-kupu tadi dengan sebutan ibu, tak kunjung berhasil. Keras kepala, hardik ayahnya. Dia tak perduli, dia juga tak terlalu butuh ibu.

Satu hari, dia tertungging-tungging meringis memegangi perutnya yang nyeri. Celananya berdarah. Perempuan siluman kupu-kupu yang harus dipanggilnya ibu mencoba bersahabat, menanyakan gerangan apa sakit yang dideritanya? Dia tak menjawab, mulutnya kelu. Dia tak suka basa-basi sok ramah. Ini haid pertama, harusnya tiap perempuan tahu, pikirnya.

Dia ingat desis marah perempuan kupu-kupu itu sehari setelah peristiwa baik lalu, dia sengaja memancing ulah. Diguntingnya kimono tidur satin putih perempuan tadi untuk dijadikan penyumpal selangkangan yang berdarah. Ini genderang perang yang ditabuhnya. Tak seperti diharapkan, kupu-kupu itu tetap anggun dengan rokok ditangan yang masih menyala meski sedikit kesal.

"Kau boleh tak suka padaku karena aku ini peliharaan ayahmu. Penting kau ingat, nanti ada waktunya kau tau seperti apa cara bertahan bertahan hidup" bisik kupu-kupu sambil bersilang kaki di kursi rotan yang mulai mengusam. Dia acuh.

Kupu-kupu peliharaan ayah terbang entah kemana pada satu hari yang kelabu. Yang dia tahu, gunjingan tiap orang berbeda. Kata lelaki paruh baya yang punya belang hitam di hidung, kupu-kupu ayah terbang mengejar Kumbang madu yang gembul. Cerita lain dari teman perempuan ayah sesama kupu-kupu tak kalah mencengangkan. Karena tak tahan tak mengecap putik bunga, kupu-kupu ayah pergi mengelana di taman kota yang terletak di pinggir jalan raya yang bingar. Lewat hitungan hari, berbilang pekan, berganti bulan, ayah nampak macam orang linglung. Bicaranya mulai meracau, dari mulutnya menguar bau arak murahan yang dioplos asal jadi. Dan mulai berburu kawanan kupu-kupu lain tiap kali berahi. Tak tanggung-tanggung, itu berulang hampir saban malam.

Tengah malam sepulang gagal menjerat kupu-kupu di luar sana, ayah pulang dengan segala macam racauan cabul yang didendangkan menjadi ocehan tak karuan. Dan hampir setiap malam ayah tergeletak di depan kamar menindih muntahannya sendiri. Mungkin ayah kesepian, mungkin ayah tak punya cukup uang untuk membayar seseorang menemaninya menghangatkan malam, atau mungkin juga sudah tak ada yang mau tidur dengan ayah yang mulut dan tubuhnya mengeluarkan aroma kematian. Namun begitu, ayah tak patah arang. Gairahnya tetap tak bisa ditahan.

Dia masih ingat malam dimana ayah menggedor paksa pintu kamarnya, "Buka pintu! Aku tahu kau belum tidur, sundal! Buka!" Dia menegang di pojok tempat tidur membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Jendela kamar bergetar karena dobrakan ayah yang kuat pada pintu, dia makin menggigil. Ayah yang semula hanya seekor anjing penjaga telah berubah menjadi serigala, menggenggam kuat tangannya dan menyeringai menakutkan. Serigala itu menarik paksa tangannya, membekap mulutnya, membaringkannya di tilam seperti manekin hidup, menyingkap celananya. Dia meronta, menerjang, mencakar, berusaha agar tak dilumat hidup-hidup. Pertahanannya gagal.

Pagi harinya, dia merasa dunia tertawa hingga bergema dari sudut ke semua penjuru kamar. Ayahnya masih pulas dengan tubuh yang telanjang. Semalaman dia tidur dalam dekapan serigala yang menyesakkan. Sedikit saja dia bergeser, serigala itu kembali mengencangkan pelukannya. Dia merutuk tapi tak tahu mau merutuk tentang apa. Dia marah tapi tak tahu harus marah pada siapa. Dia ingin menangis tapi tak yakin untuk apa. Dengusan nafas dan lenguhan serigala terasa di tengkuknya. Menelikung dari belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun