Mohon tunggu...
Panggah Ardiyansyah
Panggah Ardiyansyah Mohon Tunggu... -

seorang anak bangsa yang berusaha mengenal dan mencintai beragam budaya Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hidup Itu Bukan Kebetulan

3 Mei 2012   02:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13360114631555004220

[caption id="attachment_185855" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi: serendipityincontradiction.wordpress.com/"][/caption]

"Ndak ada hal yang kebetulan"

- dikutip dari cerita pendek berjudul Madre karangan Dee

Tadi malam, saya selesai membaca Madre, sebuah cerita pendek karangan Dee (alias Dewi Lestari) untuk yang entah kesekian kalinya. Dan sekali lagi saya larut dalam keluwesan Dee dalam bercerita entah untuk yang keberapa kalinya. Alur yang runut dan berbagai kejutan dan lelucon yang tidak terduga di sana sini seperti menyihir saya untuk tidak pernah bosan dengan Madre. Tetapi bukan itu yang akan saya bahas disini.

Madre bercerita tentang seorang tokoh yang bernama Tansen, yang karena ketidaktahuannya "terdampar" di kota Jakarta dengan mewarisi Madre, sebuah adonan biang yang telah berusia 70 tahun. Cerita bermula ketika Tansen berangkat ke Jakarta dari Bali untuk menerima warisan dari seseorang bernama Pak Tan yang tidak dia kenal seumur hidupnya. Melalui pertemuan dengan Pak Hadi, seorang karyawan Pak Tan di Tan de Bakker atau Toko Roti Tan, Tansen mengetahui bahwa Pak Tan sebenarnya adalah kakek kandungnya. Sebuah cerita kecil yang mengubah liku hidup Tansen selanjutnya.

Karena tidak tahu apapun tentang roti dan bagaimana membuat roti memakai adonan biang, Tansen mengusulkan untuk memberikan Madre ke Pak Hadi saja. Pak Hadi menolak dan menyuruh Tansen tinggal sebentar untuk mengenal Madre lebih jauh. Sesuatu dari suara Pak Hadi menahan Tangsen untuk tinggal, membuat hangus tiket bis untuk pulang ke Bali malam itu juga.

Mulai belajar mengenal Madre, Tangsen menuangkan ceritanya ke blog pribadinya yang ternyata dibaca oleh Mei, pemilik gerai roti Fairy Bread. Mei tertarik untuk membeli Madre seharga seratus juta, tetapi di kemudian hari ditolak oleh Tangsen ketika melihat bahwa para mantan karyawan Tan de Bakker masih menganggap Madre sebagai keluarga mereka sendiri. Diputuskan yang akan Mei beli adalah hasil roti bikinan dari adonan Madre, yang akan dibuat oleh para mantan karyawan Tan de Bakker berjumlah 5 orang yang sudah berumur di atas 70-an. Kembali Tangsen memutuskan untuk menahan kepulangannya ke Bali sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan Mei.

Permintaan produksi pertama dari Mei berjalan lancar. Tetapi Tangsen mulai khawatir dengan Pak Hadi dan teman-temannya karena harus bekerja dari malam-malam buta sampai pagi hari. Melalui diskusi dengan Mei, Pak Hadi dan Tangsen akhirnya setuju untuk membuka kembali Tan de Bakker dengan nama baru, Tangsen de Bakker. Para mantan karyawan Tan de Bakker akan bekerja di shift siang, sedangkan untuk shift malam akan dikerjakan oleh karyawan baru. Akhir cerita, melalui Madre, Tangsen tinggal di Jakarta, sebuah kota yang tidak pernah terlintas di benaknya untuk ditinggali, menetap dan menemukan rumah didalamnya.

Ada sebuah pernyataan dari Dee melalui karakter dari Pak Hadi yang menggelitik saya. "Ndak ada yang kebetulan", demikian dikatakan Pak Hadi dalam menanggapi perjalanan hidup Tangsen setelah munculnya Madre. Tercatat dua kali kalimat tersebut diucapkan oleh Pak Hadi kepada Tangsen. Namun apa benar hidup itu bukan bukan hanya sekedar kebetulan, bahwa semua yang terjadi telah sesuai dengan takdirnya masing-masing.

Dan anehnya, tadi malam, setelah saya membaca Madre untuk yang entah kesekian kalinya, dalam benak melintas kembali perjalanan hidup saya selama ini. Ternyata hidup saya juga seperti hidupnya Tangsen, penuh dengan ketidakbetulan dan "keterpaksaan" untuk mengalir kemanapun hidup ini berarah.

Lulus SMP, saya bercita-cita untuk masuk ke STM Telkom Sandhy Putra yang terletak di Purwokerto. Lulus penerimaan di sana, kebetulan tidak mendapatkan ijin orang tua. Akhirnya saya putuskan untuk sekolah di SMA di kota kelahiran saya, Purworejo.

Lulus SMA lagi-lagi saya harus puas dengan pilihan kedua.  Pilihan pertama untuk masuk jurusan Akuntansi (yang sangat populer saat itu) tidak berhasil, dan kebetulan diterima di pilihan kedua saya yaitu Sastra Inggris. Masih terngiang di benak ini komentar teman ketika mengetahui saya di terima di jurusan Sastra Inggris. Apa iya saya bisa kuliah di sana, kenal sastra aja belum, bikin puisi aja g bisa, begitu katanya.

Entah kenapa saya memutuskan untuk menjalani saja kuliah di jurusan Sastra Inggris. Dan ternyata saya menikmatinya. Di jurusan ini saya bukan membuat sastra, seperti kata teman saya, tetapi belajar untuk mengapresiasi sastra, sambil secara tidak langsung belajar Bahasa Inggris. Plusnya lagi, Bahasa Inggris termasuk salah satu pelajaran favorit saya sejak SD.

Setelah 4 tahun yang menyenangkan di kampus, dan masih dengan Bahasa Inggris yang pas-pasan, saya mulai mencari kerja setelah dinyatakan lulus. Kesana-kemari mencari kerja, kebetulan saya malah diterima bekerja di Borobudur, tepatnya di Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Kantor ini berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan bertugas khususnya untuk memelihara Candi Borobudur.

Bingung juga awalnya di tempat kerja, apa yang nanti akan saya lakukan. Akan tetapi, kebetulan lagi, saya malah menemukan passion hidup saya di Borobudur, yang tak lain adalah budaya dalam bentuk cagar budaya dan warisan dunia UNESCO. Kata orang, hidup tanpa passion itu seperti sayur tanpa garam. Beruntungnya saya kalau begitu bisa menemukan passion dalam hidup.

Tetapi apa benar semua yang saya jalani sekarang ini hanya sebuah rentetan kebetulan semata?

Seperti halnya Tangsen yang langsung menyetujui usulan Pak Hadi untuk mengenal Madre, seperti itu juga saya ketika langsung menyetujui untuk tidak bersekolah di Purwokerto.

Seperti halnya Tangsen yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari Mei kenapa dia mau tinggal di Jakarta karena Madre, seperti itu juga saya juga tidak bisa menjawab kenapa saya memutuskan kuliah di jurusan Sastra Inggris.

Seperti halnya Tangsen yang menemukan passion di hidupnya sebagai artisan (pembuat roti profesional) melalui Madre, demikian juga saya yang menemukan passion dalam hidup melalui Borobudur.

Seperti halnya Tangsen yang menemukan "rumah"nya di Jakarta melalui Madre, demikian juga saya yang berharap bahwa di sini, di Borobudur, akan menjadi "rumah kehidupan", tempat saya bisa berkreasi dan mengaktualisasi diri.

Mungkin benar kata Dee, hidup itu bukan kebetulan. "Keterpaksaan" untuk menjalaninya ternyata membawa saya memaknai hidup ini.

Bagaimana dengan anda?

Salam hangat dari Borobudur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun