Mohon tunggu...
pangeran toba hasibuan
pangeran toba hasibuan Mohon Tunggu... Lainnya - jadilah seperti akar meski tidak terlihat, tetap tulus menguatkan batang dan menghidupi daun, bunga atau buah termasuk dirinya sendiri

Bukan apa yang kita dapatkan, tapi menjadi siapakah kita, apa yang kita kontribusikan, itulah yang memberi arti bagi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nasib Garuda

28 Juli 2022   09:13 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:15 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kita semua selalu mengidamkan menggunakan maskapai penerbangan Garuda jika akan bepergian menggunakan pesawat terbang. Penampilan mewah, bersih, nyaman, tepat waktu dan keramahtamahan pelayanan meski harga tiket lebih mahal dari maskapai penerbangan yang lain menjadikan sebagian orang sebagai pelanggan Garuda. Disamping itu karena sering digunakan pejabat maupun orang terkenal lain, naik pesawat Garuda menjadikan kelas tersendiri. 

Namun, di balik itu semua ternyata Garuda tidak memiliki pondasi pengelolaan keuangan yang baik. Perusahaan penerbangan nasional Garuda mengajukan permohonan perpanjangan penundaan kewajiban pembayaran hutang dan DPR mendukung untuk mendapatkan penyertaan modal negara  sebesar Rp 7,5 triliun dari APBN 2022 (Kompas, 12/05/2022 -- halaman 10). Mungkin masyarakat tidak banyak yang mengetahui, Garuda yang merupakan aset bangsa Indonesia sampai saat ini memiliki hutang mencapai sebesar Rp 198,81 triliun.

Dengan angka hutang sebesar itu, tidak kaget membaca pernyataan Wakil Menteri BUMN yang dilansir pada berita (Kompas.com 12/11/2021), secara teknis, perusahaan penerbangan Garuda telah dalam kondisi bangkrut, tetapi belum secara legal. 

Garuda seharusnya sudah berada pada posisi mapan saat ini, karena 73 tahun bukanlah usia muda bagi sebuah usaha maskapai penerbangan. Pesaing Garuda yang baru berusia  22 tahun sudah lebih besar pangsa pasarnya dibandingkan Garuda. Namun, apa mau dikata, sepanjang perjalanan usianya, Garuda lebih banyak mengalami kerugian. Kondisi kritis telah berkali-kali dialami Garuda hingga puncaknya pada masa pandemi Covid-19, jumlah penumpang anjlok akibat pembatasan bepergian. 

Menurut berita, Garuda sudah mulai mengalami krisis sejak 1970. Kerugian mulai dialami di awal 1980-an, sampai tahun 1985 hutang jangka pendek Garuda sudah mencapai Rph 247,8 M dan hutang jangka panjang mencapai Rph 649,5M.

Sepanjang dekade 1980, perusahaan Garuda Indonesia terus merugi, bahkan pada 1987 tercatat sebagai BUMN paling rugi dari total 47 BUMN. Keuntungan baru dicatatkan pada tahun 1988-1990. Selanjutnya terus mengalami kerugian. Keuntungan baru kembali diraih pada 2015, 2016 dan 2019 (katadata.co.id 14/09/2021). Sehingga tidak berlebihan jika Menteri BUMN mengungkapkan, kerugian Garuda akibat bisnis yang salah urus sejak berpuluh tahun. 

Jika persoalan utama adalah salah urus maka seharusnya langkah pertama dan sederhana yang harus dilakukan adalah mengganti pengurus atau merubah cara mengurus. Ibarat menggarami lautan, bukanlah keputusan yang bijak jika Pemerintah malah menyertakan modal tanpa pembenahan pengelolaan dari Garuda.

Publik sulit memahami jika Garuda Indonesia kerap mengalami kerugian berpuluh tahun namun tidak ada langkah perbaikan, bagaimana pengawasan dari pemerintah dan DPR? Apakah masih bisa memulihkan Garuda sebagai maskapai kebanggaan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun