Kita semua selalu mengidamkan menggunakan maskapai penerbangan Garuda jika akan bepergian menggunakan pesawat terbang. Penampilan mewah, bersih, nyaman, tepat waktu dan keramahtamahan pelayanan meski harga tiket lebih mahal dari maskapai penerbangan yang lain menjadikan sebagian orang sebagai pelanggan Garuda. Disamping itu karena sering digunakan pejabat maupun orang terkenal lain, naik pesawat Garuda menjadikan kelas tersendiri.Â
Namun, di balik itu semua ternyata Garuda tidak memiliki pondasi pengelolaan keuangan yang baik. Perusahaan penerbangan nasional Garuda mengajukan permohonan perpanjangan penundaan kewajiban pembayaran hutang dan DPR mendukung untuk mendapatkan penyertaan modal negara  sebesar Rp 7,5 triliun dari APBN 2022 (Kompas, 12/05/2022 -- halaman 10). Mungkin masyarakat tidak banyak yang mengetahui, Garuda yang merupakan aset bangsa Indonesia sampai saat ini memiliki hutang mencapai sebesar Rp 198,81 triliun.
Dengan angka hutang sebesar itu, tidak kaget membaca pernyataan Wakil Menteri BUMN yang dilansir pada berita (Kompas.com 12/11/2021), secara teknis, perusahaan penerbangan Garuda telah dalam kondisi bangkrut, tetapi belum secara legal.Â
Garuda seharusnya sudah berada pada posisi mapan saat ini, karena 73 tahun bukanlah usia muda bagi sebuah usaha maskapai penerbangan. Pesaing Garuda yang baru berusia  22 tahun sudah lebih besar pangsa pasarnya dibandingkan Garuda. Namun, apa mau dikata, sepanjang perjalanan usianya, Garuda lebih banyak mengalami kerugian. Kondisi kritis telah berkali-kali dialami Garuda hingga puncaknya pada masa pandemi Covid-19, jumlah penumpang anjlok akibat pembatasan bepergian.Â
Menurut berita, Garuda sudah mulai mengalami krisis sejak 1970. Kerugian mulai dialami di awal 1980-an, sampai tahun 1985 hutang jangka pendek Garuda sudah mencapai Rph 247,8 M dan hutang jangka panjang mencapai Rph 649,5M.
Sepanjang dekade 1980, perusahaan Garuda Indonesia terus merugi, bahkan pada 1987 tercatat sebagai BUMN paling rugi dari total 47 BUMN. Keuntungan baru dicatatkan pada tahun 1988-1990. Selanjutnya terus mengalami kerugian. Keuntungan baru kembali diraih pada 2015, 2016 dan 2019 (katadata.co.id 14/09/2021). Sehingga tidak berlebihan jika Menteri BUMN mengungkapkan, kerugian Garuda akibat bisnis yang salah urus sejak berpuluh tahun.Â
Jika persoalan utama adalah salah urus maka seharusnya langkah pertama dan sederhana yang harus dilakukan adalah mengganti pengurus atau merubah cara mengurus. Ibarat menggarami lautan, bukanlah keputusan yang bijak jika Pemerintah malah menyertakan modal tanpa pembenahan pengelolaan dari Garuda.
Publik sulit memahami jika Garuda Indonesia kerap mengalami kerugian berpuluh tahun namun tidak ada langkah perbaikan, bagaimana pengawasan dari pemerintah dan DPR? Apakah masih bisa memulihkan Garuda sebagai maskapai kebanggaan?