Mohon tunggu...
Pangat Muji
Pangat Muji Mohon Tunggu... -

Mendidik generasi masa depan agar selalu ingat Moral, Tanggungjawab, Kontribusi kepada Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR Kalau Masih Seperti TK Diapakan Ya?

3 Januari 2010   20:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama hampir 12 tahun reformasi, apa yang kita dapat dari kiprah DPR ? Sampai detik ini hasilnya tidak signifikan (tidak ada?). Malahan ada tamparan dari masyarakat luas tentang tekanan Facebooker atas kriminalisasi Bibit-Chandra, pengumpulan koin atas kasus Prita Mulyasari. Dua hal itu adalah bukti lebih dari cukup bahwa DPR benar-benar tidak berfungsi.

Semua undang-undang yang pernah dihasilkan DPR, selain bahwa pembahasannya sarat dengan pembiayaan layaknya proyek, per pembahasan minimum 2 sampai 3 milyar untuk sekelompok anggota di kamar ini, dan sekian milyar untuk pembahasan di kamar-kamar lainnya; juga sulit dilihat manfaatnya, terutama undang-undang yang di luar logika kebangsaan, miskin pengetahuan Sejarah, buta mata hati tentang Amanat Penderitaan Rakyat, melenceng dari UUD 45.

Dipenjaranya beberapa Deputi Senior BI adalah salah satu bukti benarnya rahasia umum bahwa setiap pembahasan UU yang diajukan pemerintah selalu menjadi ajang 'pemerasan', karena pihak pemerintah sering harus menyediakan amplop, agar UU yang baik bagi rakyat bisa segera dapat diimplementasikan (belum bicara bahwa pemerintah yang punya niat/ agenda sendiri agar UU itu segera disetujui).

Bapak Drajad Wibowo yang sedang berjuang menjadi Ketua PAN pernah menjadi anggota Komisi XI yang (terpaksa) menggolkan Boediono menjadi Gubernur BI, ketika kolega2nya yang lain telah menerima hujan merata (amplop merata) siraman pemerintah. Pemilihan Deputi BI Miranda Goeltom juga sedang disorot dugaan pembagian traveller cheque kepada komisi DPR. Selain kepantasan amplop itu (yang telah dianggap pantas dan biasa di kalangan DPR dan pemerintah, padahal tidak bermoral !), ada hal lain yang juga penting yaitu menyangkut kemampuan intelektual dan profesional anggota Komisis XI itu tentang materi untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang Boediono menjadi Gubernur BI waktu itu.  Hal ini terbukti menjadi beban rakyat manakala berbagai kasus pelanggaran BI terjadi akibat beberapa Deputi dan Gubernurnya melanggar hukum.

Ditarik ke belakang, banyaknya partai politik, proses kampanye yang memakan dana rakyat puluhan hampir seratus trilyun setiap 5 tahun, juga ongkos sosial penguapan dana rakyat berbulan-bulan di kalangan masyarakat se Indonesia Raya sewaktu kampanye; ternyata bisa menjadi pelajaran bahwa ujung-ujungnya hanyalah pada hasil Facebook atas Bibit-Chandra dan peristiwa pengumpulan koin Prita. Dengan kata lain, terjadi pembuangan dana rakyat yang sia-sia atas semua proses adanya DPR. Apabila kasus Bank Century menjadi blunder di tangan Pansus DPR, maka sempurnalah kebodohan DPR dan kebodohan rakyat juga yang tidak sadar dikadali sistem ini. (catatan: kata 'kadal' menjadi cikal bakal istilah  'cicak-buaya', di kalangan 'kadal')

Ketumpulan DPR tentang fungsinya bagi demokrasi dan pertanyaan tentang kemampuan profesionalnya untuk menjadi pengawas pemerintah (dengan 37 kementeriannya di berbagai bidang) menjadi suatu ilustrasi akan ketidakmampuan dan menjadi seperti arena main-main yang dilembagakan. TK (taman kanak-kanak) adalah sekolah yang 'melembagakan' main-main. Gus Dur memang jenius.

Ada baiknya diterapkan prinsip meritokrasi (berdasarkan prestasi profesional) dalam perekrutan anggota DPR (juga DPRD) nantinya. Masalah banyaknya partai, soal yang lain lagi , yang seharusnya juga diciutkan lagi demi efisiensi dana rakyat. Pelajaran sejarah 12 tahun ini cukup untuk menciutkan jumlah partai di negeri ini menjadi paling banyak 5 partai saja plus non partai/ independen ( setelah melihat pada komposisi perolehan tertinggi pada Pemilu 2009 kemarin). Perekrutan anggota DPR seperti ujian CPNS dengan materi bidang-bidang sesuai 37 Kementerian pemerintah. Yang ujian adalah anggota-anggota partai. Jumlah kursi di DPR bagi tiap partai juga diefisienkan, mungkin seluruh anggota DPR hanya berjumlah misalnya 37 kali 3 (agar ganjil) hanya 111 orang. Cukup. Yang menguji adalah para pakar di bidangnya masing-masing. Hasilnya mungkin wajah DPR nanti akan mirip sistem DPR di negara demokrasi maju seperti Inggris dan AS. Kemudian ada mekanisme cek-ricek masyarakat. Dengan berjalannya waktu mereka akan menjadi seperti senator yang semakin ahli masalah di 37 bidang tersebut, yang kemudian bisa mewariskan kepada kader junior di partainya sendiri. Tentu pertimbangan segi kewilayahan Indonesia barat-Timur perlu dperhatikan.

Bagaimana mungkin, suatu negara yang sedemikian kaya raya,  lulusan sarjana hukum terbanyak di dunia, menjadi suatu negara di mana kondisi hukum di posisi puncaknya begitu tumpul dan amburadul penuh dengan praktik-praktik penyuapan dan pemerasan ? Mungkin ! Nama negaranya Republik Indonesia periode 1998-2009. Bukti ada di mana-mana. Akar tidak sehatnya pohon negara ada di sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun