Mohon tunggu...
Pandu Pradana Wahyudi
Pandu Pradana Wahyudi Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Sains Teologi

Berbagi pemikiran melalui tulisan dalam rangka menjadi garam dan terang dunia.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Menjadi Suporter Klub Sepak Bola Indonesia, Jalan Alternatif Menuju Kematian?

3 Oktober 2022   18:25 Diperbarui: 3 Oktober 2022   18:38 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Slamet mulai menyiapkan beberapa atribut suporter tim kebanggaan yang akan dia bawa menuju stadion. Dengan mengenakan baju jersey tim kebanggaan dan syal bertuliskan nama tim kebanggaan, Slamet berpamitan kepada kedua orang tuanya. "Hati-hati, nak", pesan orang tua Slamet sesaat setelah Slamet mencium tangan mereka. Tanpa terbesit sedikit pun di pikiran kedua orang tua Slamet bahwa hari itu adalah hari terakhirnya melihat Slamet di dunia. Yang mereka tahu Slamet berpamitan untuk mendukung tim kebanggaannya di stadion bersama rekan-rekan suporter lainnya.

Yel-yel terus berkumandang di stadion. Koreografi yang sudah disiapkan mulai peragakan untuk membakar semangat para pemain di lapangan. Sukacita, semangat, dan jantung yang berdebar beradu menjadi satu sembari menanti terciptanya gol yang dicetak oleh tim kebanggaan. Tentu hal ini juga dirasakan oleh Slamet yang kala itu berada di tengah ribuan suporter yang menghadiri pertandingan derby Jatim. 

Gol demi gol tercipta pada pertandingan itu. Sayangnya, tim kebanggaan tuan rumah gagal mendapatkan 3 poin dari rival abadinya. Mereka dipaksa menyerah dengan skor 2-3 hingga peluit panjang dibunyikan. Sukacita dan semangat yang menggebu-gebu kini berganti kekecewaan. Kekecewaan dari beberapa suporter yang tidak terbendung berubah menjadi luapan emosi. Beberapa suporter tersebut menerobos turun ke lapangan untuk meluapkan emosinya. Hingga pada akhirnya, kericuhan pun tidak dapat dihindari.

Jajaran aparat keamanan mencoba mengendalikan kericuhan agar semakin mereda dengan cara melemparkan gas air mata. Celakanya, upaya dari tim aparat keamanan tersebut tidak membuahkan hasil namun justru memperparah keadaan. Sebagian besar suporter yang tidak terlibat dalam kericuhan mengalami kepanikan. Mereka berebut menuju pintu keluar stadion untuk menghindari gas air mata. Akibatnya, lebih dari 120 jiwa melayang karena ribuan orang saling berdesakan menuju pintu keluar.

Ayah dan ibu Slamet harap-harap cemas menunggu kepulangan anak semata wayangnya yang berpamitan menonton tim kebanggaannya di stadion hari itu. Malam telah larut. Hari telah berganti. Slamet diantar pulang oleh rekan-rekannya dengan kondisi tidak bernyawa akibat terdesak dan terinjak oleh ribuan orang di stadion saat menuju pintu keluar. Rumah yang penuh dengan kehangatan keluarga, berubah menjadi rumah duka. Tangis kesedihan pecah menyelimuti keluarga Slamet. 

Tidak ada yang mengira pertandingan kala itu menjadi jalan kematian seorang Slamet. Nama Slamet (dalam bahasa Indonesia berarti "selamat") ternyata tidak mampu menyelamatkan dirinya dari tragedi kericuhan di Kanjuruhan. Kekecewaan akibat kekalahan tim kebanggaan sudah tidak lagi dirasakan. Kini hanya rasa kehilangan yang tersisa dan terus menyelimuti keluarga Slamet seumur hidupnya.

Tokoh Slamet dan keluarganya merupakan bagian dari cerita fiksi yang dibuat oleh penulis untuk menggambarkan suasana hati keluarga korban yang meninggal dunia akibat tragedi kanjuruhan. Kekalahan tim tidak sebanding dengan duka yang mendalam yang dirasakan oleh keluarga korban.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi yang menelan begitu banyak korban ini? Akan sampai kapan memilih menjadi suporter sepakbola Indonesia berarti juga memilih jalan alternatif menuju kematian?

Waktu akan terbuang percuma jika terus menyalahkan satu sama lain. Solusi terbaik dalam hal ini adalah evaluasi yang menyeluruh terhadap semua pihak, baik PSSI, aparat kepolisian, hingga tim dan komunitas suporternya. 

Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi peringatan bahwa semua pihak harus segera berbenah demi keramahan dan kemajuan sepakbola Indonesia. PSSI harus segera mengevaluasi diri agar nama Indonesia dalam kancah sepakbola internasional dapat segera membaik mengingat Indonesia telah digadang-gadang menjadi tuan rumah dalam event kejuaraan sepakbola internasional.  PSSI juga perlu meningkatkan sinergi dengan aparat kepolisian untuk dapat mencegah adanya oknum-oknum pemantik kerusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun