Mohon tunggu...
Pandu Pribadi
Pandu Pribadi Mohon Tunggu... Penulis - Jadi gitulah, yak

Meromantisasikan sisi mekanis kehidupan kota.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjelma dan Meleburnya Sastra

19 Januari 2022   12:00 Diperbarui: 19 Januari 2022   12:03 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ada sastra di antara itu. Sastra nampak tidak mengurangi keterampilan praktis apa pun. Sastra menjelma, sastra melebur. Sebutlah begitu sastra di hadapan saya sekarang. Tidak ada yang menafikan kalau kemampuan manusia dilihat dari apa yang ia miliki. Jikalau ada yang menafikan, mungkin tulisan ini tidak pantas untuknya.

Jadi, di mana sastra sekarang?

Sastra ada di antara itu, menjelma atau bahkan melebur. Saya kuliah di jurusan Sastra Indonesia, menjadikan sastra sebagai orientasi pusat dari setiap proses belajar saya sehari-hari. Bisa dikatakan, apa yang saya dapat dari membaca ilmu biologi mengenai sel dan molekuler akan saya kembalikan lagi ke pusatnya, yaitu sastra. Begitu juga ketika saya belajar tentang astronomi mengapa semua benda langit seperti planet Venus dapat terlihat jelas akibat berada pada titik elongasinya akan saya kembalikan lagi ke pusatnya, yaitu sastra.

Dengan begitu, cukup jelas untuk sastra dapat melebur ke mana pun, pun kalau mampu melebur. Ini beda lagi. Keberhasilan sastra dalam peleburannya tidak terlepas dari kemampuan manusia yang menciptakan sastra itu sendiri, kesulitan semacam ini biasanya cukup sering dialami penulis sastra untuk menghasilkan sastra yang lebur. Memadukannya dengan hal yang lain bukan suatu hal yang mudah, ditambah ketika kita membicarakan selera. Habis sudah.

Lalu, bagaimana sastra dapat menjelma dan melebur?

Meleburnya sastra menjadi bentuk-bentuk yang peminat sastra inginkan adalah niscaya. Maka dari itu, kita harus liat terlebih dahulu, bahkan cermat untuk memungkinkan peleburan itu. Ini bukan perihal benar tidaknya suatu karya sastra, dan relevan atau tidaknya karya sastra---terhadap apa yang dileburkannya. Ini perihal kita tidak mengerti maksud dari penulisnya. Membaca sastra tidak semudah kata Melani Budianta. Saya sepakat dengan bukunya yang Membaca Sastra, tapi tak semudah itu menafsirkan sastra yang sudah melebur bukan? Ada kegiatan kognitif dan afektif yang luar biasa dari hasil membaca sastra. Tidak seperti membedakan antara jurnalistik dan karya sastra. Bagaimana jika mereka melebur?

Hemat saya, membiarkan yang rumit tetap menjadi rumit adalah normal. Meringkas atau membuat praktis semua hal itu seperti kehilangan salah satu kenikmatan membaca sastra. Ini sejalan dengan manusia yang semakin hari semakin harus merasa instan dalam setiap kegiatannya.

Saya memiliki salah satu novel antropologis karya Niduparas Erlang yang berjudul Burung Kayu, dalam novel tersebut tidak ada catatan kaki dan juga glosarium, sedangkan kosa kata daerah Mentawai dalam novel itu sangatlah banyak. Jelas dan sangat pasti orang-orang tidak banyak yang mengerti, bahkan mungkin susah mencarinya di search engine mana pun. Itu karena memang apa yang ditulis Nidu adalah hal baru.

Perjalanan mencari yang akan dilakukan pembacanya akan menjadikan landasan pacu yang baik. Dan ketika itu terjadi, jika memang sastra menjadi pusat juga baginya, akan ada sebuah proses yang luar biasa harmoninya. Ketika itulah sastra menjelma dan melebur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun