Mohon tunggu...
ieda poernomo
ieda poernomo Mohon Tunggu... -

pemerhati perilaku masyarakat, fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan harga diri sebagai bangsa dan negara, menulis artikel, cerpen, buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selektif Yuk!

4 Februari 2010   23:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang perlu disimak lebih dalam dari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.Saya ambil satu kasus saja. Berita terakhir mengabarkan jumlah korban Baekuni alias Babeh menjadi 14 anak. Mudah-mudahan tidak bertambah lagi. Baekuni melakukannya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Syukurlah Tuhan membuka jalan untuk mengungkap kejahatannya. Wajah asli Baekuni pun terkuak. Hari demi hari dalam penelusuran kasus ini wajah aslinya yang sungguh sangat menyeramkan tampak jelas. Pertanyaannya, kok bisa ya dia melakukannya selama dan ‘seleluasa’ itu? Jawabnya, sebagian ada pada kita, masyarakat. Melalui komentar atau tanggapan orang-orang yang mengenal Baekuni, saya melihat kelemahan kita, masyarakat. Di antaranya bilang, “Babeh kelihatannya baik. Dia baik sama anak-anak …” dan seterusnya .. dan seterusnya.

Nah, di sini letak permasalahannya. Ukuran “baik” dan “tidak baik” yang ada sekarang sangat perlu ditinjau kembali. Tanpa kejelasan kita akan ‘terkecoh’ tampilan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sebenarnya hanya topeng saja, menutupi maksud yang sebenarnya. Perilaku memang tidak selalu memunculkan wajah asli. Tampilan biasanya disesuaikan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku ini adalah hasil dari pengalaman. Orang belajar tentang tampilan perilaku yang dapat diterima dan ditolak masyarakat. Ia juga belajar, di mana tampilan diterima dan di lingkungan mana tampilan perilakunya ditolak. Baekuni berhasil mengelabui masyarakat dengan label “bersikap baik terhadap anak-anak, menyediakan tempat untuk anak-anak, dan seterusnya” Jadi, Baekuni mengambil jalan yang tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat, padahal jauh di dalam hati ia memang punya niat jahat kepada anak-anak.

Jadi, apa yang harus dilakukan? Mewaspadai, bukan mencurigai,adalah sikap yang diperlukan agar kita dapat mencermati tampilan perilaku semu seperti yang ditunjukkan Baekuni. Sikap kritis harus mengemuka. Kalau melihat seseorang melakukan sesuatu jangan cepat-cepat melabelnya sebagai perbuatan baik. Ajukan pertanyaan kritis, sendiri atau bersama orang-orang lain di lingkungan, terhadap tampilan ‘orang baik’ ini, seperti: Mengapa dia melakukannya? Kok hanya dengan anak-anak umur tertentu, jenis kelamin tertentu? Bagaimana keluarganya? Mengapa sampai bercerai sekian kali? Dan masih banyak pertanyaan lain yang perlu diajukan dalam rangka mengkritisi dan mewaspadai perilaku seseorang.

Dalam kasus Baekuni, bahkan keluarganya saja tidak menduga karena perilaku Baekuni yang beberapa kali menikah dan bercerai, tidak punya keturunan, sering membawa ‘anak asuhnya’ ke kampung sama sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang perlu dicermati. Mereka menganggap Baekuni baik-baik saja. Pemikiran Baekuni adalah orang biasa dan malah dianggap berbuat baik karena suka ‘menolong’ anak-anak malah mendorong orang tua untuk membiarkan anaknya dekat dengan Baekuni yang sebenarnya berarti ‘melepaskan’ tanggung jawabnya kepada Baekuni. Seharusnya orang tua justru perlu ‘merebut’ kembali anaknya dari rengkuhan Baekuni. Pelaku kejahatan seperti Baekuni sangat ‘terbantu’ justru oleh sikap masyarakat yang seolah memberinya ‘kepercayaan’. Keleluasaannya berbuat kriminal adalah hasil pemanfaatan peluang yang diberikan lingkungannya.

Itu catatan peristiwa yang lalu, satu dari sekian banyak kasus serupa, di mana kejahatan merajalela, melenggang dengan leluasa, karena lingkungan memfasilitasi secara tak sadar. Ayo, cermati lagi perilaku orang-orang di sekitar kita. Tinjau lagi ukuran “baik” dan “tidak baik” atau “benar”dan “salah” supaya tidak salah melabel orang. Ayo, lebih selektif dalam menentukan perilaku orang-orang di sekitar kita. Tidak selayaknya anak-anak menjadi korban hanya karena kelengahan kita akibat kesalahan melabel orang.

Semoga penegak hukum bisa tegas menjatuhkan hukuman kepada Baekuni. Hukuman dimaksudkan sebagai upaya menimbulkan efek jera kepada pelakunya dan peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukannya. Kalau hukumannya longgar, jangan heran kalau kasus serupa akan berulang dan berulang lagi. Selektif dan tegas. Itu kata kuncinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun