Komunikasi pembangunan bukanlah konsep baru, melainkan hasil dari proses panjang yang terus berevolusi seiring perubahan sosial, politik, dan teknologi. Sejak pertama kali diperkenalkan sebagai bagian dari strategi pembangunan pasca-Perang Dunia II, konsep ini telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan --- dari pendekatan top-down menuju pendekatan yang lebih partisipatif dan berkelanjutan.
Akar Sejarah dan Perkembangan Awal
Konsep komunikasi pembangunan pertama kali mengemuka pada era 1950-an, ketika para ahli komunikasi dan pembangunan, seperti Daniel Lerner dan Everett Rogers, memperkenalkan gagasan bahwa media massa dapat menjadi alat modernisasi bagi negara-negara berkembang. Lerner, dalam bukunya The Passing of Traditional Society (1958), menyatakan bahwa media dapat mendorong masyarakat tradisional untuk mengadopsi nilai-nilai modernisasi. Rogers kemudian memperkuatnya melalui konsep I (1962), yang menjelaskan bagaimana inovasi menyebar dalam masyarakat.
Namun, pendekatan awal ini banyak dikritik karena bersifat top-down, mengasumsikan bahwa pembangunan adalah proses linier dari negara maju ke negara berkembang, dan masyarakat penerima hanya diposisikan sebagai objek.
Perkembangan Menuju Pendekatan Partisipatif
Kritik terhadap pendekatan modernisasi mendorong munculnya pendekatan partisipatif pada 1970-an hingga 1990-an. Tokoh seperti Paulo Freire, melalui bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970), menekankan pentingnya dialog dan kesetaraan dalam komunikasi pembangunan. Dalam pendekatan ini, masyarakat tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga aktor aktif dalam proses pembangunan itu sendiri.
Pendekatan ini berkembang melalui berbagai program pembangunan berbasis komunitas, seperti program Community Radio dan Participatory Video, yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan kebutuhan mereka sendiri.
Komunikasi Pembangunan di Era Digital
Saat ini, komunikasi pembangunan memasuki fase baru dengan hadirnya teknologi digital. Menurut World Bank (2022), lebih dari 60% populasi dunia kini memiliki akses ke internet. Platform digital menjadi sarana yang sangat potensial dalam menyampaikan pesan pembangunan --- mulai dari kampanye sosial, pelatihan daring, hingga penguatan kapasitas masyarakat secara virtual.
Namun, transformasi digital juga menghadirkan tantangan baru, seperti disinformasi, kesenjangan akses digital, dan penurunan kualitas dialog publik. Oleh karena itu, penting untuk menggabungkan prinsip-prinsip partisipatif dengan pemanfaatan teknologi secara etis dan inklusif (Pramono, 2016).
Referensi