Mohon tunggu...
Pande Anggarnata
Pande Anggarnata Mohon Tunggu... Lainnya - from nothng says everthing

Staf pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Klungkung Bali

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Agama atau Agama Politik?

16 Oktober 2016   11:40 Diperbarui: 16 Oktober 2016   11:53 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sangat sulit menghindari munculnya isu sara dalam pilkada DKI 2017. Ini adalah akibat dari AHOK EFFECT. Begitu bencinya FPI dengan Ahok, maka segala cara akan dilakukan untuk menyerang dan menggagalkan kemenangan AHOK. Bahkan dengan ancaman bunuh diri massal. Saya katakan disini adalah kebencian FPI bukan kebencian umat Islam kepada AHOK. 

Berbagai kebijakan Ahok yang sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Jakarta, tetap saja dinilai sebagai hal tidak baik oleh FPI, karena hanya satu alasan yaitu Ahok bukan beragama Islam. Tidak ada dalilinya orang non islam menjadi pemimpin di wilayah yang mayoritas Islam. Alasan yang dikemukan oleh FPI tentu saja tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja, peningkatan kesejahteraan atau pun kebersihan sungai dan bebas banjir. Ga ada logika memang, karena mereka mungkin tidak memakai logika, atau memakai logika yang berbeda dengan orang kebanyakan. 

Mengapa kampanye negatif berbasis SARA masih mudah ditemukan di setiap kompetisi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional? 

Publik mungkin akan terpecah dua, ada yg setuju dan ada yang tidak dengan penggunaan isu sara dalam kompetisi politik. Namun dalam kasus Ahok, munculnya isu sara bukan dari lawan atau competitor lain, melainkan dari FPI yang memang sangat membenci Ahok. Sedikit saja ada peluang maka FPI akan melakukan demo besar-besaran untuk menentang Ahok. Bahkan potongan video yang sudah diedit dijadikan dasar tanpa melihat rekaman secara utuh.

Tetapi apakah FPI sendirian?? 

Tentu saja tidak, ada partai dengan pimpinan bekas jendral yang berada dibelakang mereka. Sejumlah nara sumber yang sempat di wawancarai media mainstream mengatakan FPI selalu berkoordinasi dengan petinggi partai tersebut. Elit partai sengaja memobilisasi sentimen SARA untuk publik yang berpikir bahwa agama atau etnis itu penting. Lebih penting dari kinerja dan prestasi, apa lagi dengan system keternukaan informasi mengakibatkan mereka yang biasa bermain untuk kepentingan sesaat mendapatkan celah korupsi dan manipalusi menjadi tidak mendapatkan celah. 

Apakah isu SARA punya efek secara electoral?

Pasti ada. Tapi seberapa besar efeknya ternyata tidak sebesar yang diduga. Buktinya partai dengan identitas agama tidak pernah menang dalam pemilu. Pemilih sekarang sudah cerdas, batasan agama tidak lagi kental, dan sebaiknya memang tidak kental. Perlu diingat bahwa penduduk Jakarta terdiri dari banyak suku dan agama. Pemeluk agama Islam memang paling banyak namun tidak ada survey yang menyatakan apakah mereka penganut Islam radikal atau Islam Nusantara. Karena Islam Nusantara tidak mempermasalahkan gubernurnya dari non Islam. Umat Islam yang tergabung dalam NU sepeti dikatakan salah satu pemimpin NU, NU tidak dalam posisi mendukung apalagi menghalangi orang untuk menjadi pemimpin. Dan tidak membeda-bedakan pemimpin muslim dan non muslim.

Saya akan kutip penggalan analisis yang termuat di Koran Pikiran Aceh : “Bagi masyarakat cerdas menjual agama untuk kepentingan politik seperti ini adalah sama dengan mempermainkan agama. Menurunkan derajat keagungan agama itu sendiri. Politisasi agama dapat merusak kesucian agama itu sendiri. Lalu, masihkah kita percaya dengan para pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat meraih dan mempertahankan kekuasaan?. Jika didaerah kamu mengalami kesusahan mencari pekerjaan, harga barang mahal, diskriminasi, hukum hanya tegak untuk masyarakat bawah, pemimpin sering melakukan pencitraan penegakan agama. Itu artinya pemimpin kamu sedang memainkan politik dagang agama. Maka untuk itu, mari kita melawan. Melawan dengan cara yang demokratis, yakni melawan dengan cara tidak memilih mereka kembali saat pemilu”.

Damai di hati, damai di bumi, damai selamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun