Mohon tunggu...
Money Pilihan

Pungli Recehan, Awal dari Perbuatan Korupsi

20 Oktober 2016   13:59 Diperbarui: 20 Oktober 2016   14:07 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tindakan Presiden Joko Widodo memberantas pungutan liar (pungli) banyak pihak kurang mengapresiasi, karena memandang nilainya hanya recehan, namun patut di puji, merupakan langkah awal yang menunjukkan bahwa tidak ada pembedaan pemberantaran korupsi recehan maupun trilyunan. Seharusnya dalam memberantas korupsi jangan diklasifikasi seperti umpama KPK hanya akan menangani korupsi diatas satu milyar. Memang kalau nilainya kecil perbandingan antara biaya operasional dengan hasilnya tidak seimbang. Untuk itu pemerintah perlu mencari solusi lain. Temuan KPK yang nilainya recehan misalnya, bisa diserahkan kepada lembaga lainnya yang pantas untuk menanganinya.

Memberantas pungli merupakan bagian dari upaya memerangi korupsi yang saat ini sangat penting bagi negara yang sedang berbenah ini. Sudah terlalu lama praktek-praktek dalam berbangsa dan bernegara dibiarkan dilakukan dengan cara-cara tidak jujur, tidak berpegang pada etika dan moral, tidak bertanggung jawab, pungutan liar recehan dianggap biasa dan wajar-wajar saja sebagai “upah” uang lelah. Kondisi seperti ini tanpa disadari melekat pada pola pikir bangsa, menganggap layak dalam suatu sistem. Sebagai bangsa telah kehilangan nilai-nilai integritas, krisis identitas, krisis moral. Mereka yang jujur berpegang pada integritas, dijauhi, bahkan tersingkirkan, disingkirkan.

Disadari atau tidak pungli dan korupsi merupakan penyakit yang hampir menjadi “budaya” birokrasi, walaupun banyak juga terjadi pada nonbirokrasi. Oleh karena itu penyakit ini sekarang telah merebak pada segala lapisan. Penyakit sosial dan moral ini telah menjangkiti seluruh sendi kehidupan, dengan penamaan yang bermacam-macam, ada istilah uang rokok, uang semir, uang pelicin, uang mahar, uang lelah, uang dengar, uang sogok, uang kopi, apel malang dan istilah-istilah lainnya sebagai kata penghalus pungli.

Meskipun berbagai aturan telah dibuat dan sistem diciptakan sedemikian rupa untuk mengantisipasi atau meminimalisasi terjadinya pungli dan tindak pidana korupsi, namun praktek-praktek kejahatan itu tetap terjadi, sehingga muncul pameo sejeli-jelinya polisi, masih lebih jeli pelaku korupsi.

Aturan sebaik apapun tidak akan efektif apabila pelaksananya manusia-manusia yang tidak memiliki integritas, tidak berpegang pada moral dan etika. Oleh karena itu dapat dipahami pungli dan korupsi akhirnya menjadi “budaya” dinegeri ini.

Budaya pungli dan korupsi ini mudah ditemui pada pekerjaan yang sifatnya berkaitan dengan izin-izin, perizinan, pengurusan sesuatu atau kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik, pelanggan lazim dan dianggap biasa memberikan uang rokok, ngemel,  uang sogok, walaupun sejatinya memberatkan bagi yang memberinya. Apabila tidak dilakukan, kegiatan itu akan lamban, bahkan tidak akan diproses. Praktek-praktek itu dulu dapat ditemui seperti dalam mengurus perpanjangan STNK, seperti adanya uang gesek nomor kerangka. Di jalanan, sering terlihat kernet truk atau kernet bis melemparkan uang receh pada petugas perhubungan atau polisi lalu lintas yang nongkrong di pos-pos tertentu. Itu salah satu bukti awak truk dan bis menganggap itu lazim dan perlu dilakukan supaya perjalanannya lancar.

Peran Masyarakat

Untuk memberantas pungli dan korupsi jangan sampai terjadi seperti masa lalu, masa opstib, hanya dilakukan oleh pejabat tertentu, tidak semua lapisan birokrasi melakukannya, akibatnya begitu pejabatnya purna tugas, kebijakannya pun ganti, turut sirna dan kini merebak kembali. Untuk itu membutuhkan suatu upaya yang luar biasa. Perlu dibentuk tim lintas instansi. Perlu adanya kesamaan pandang antar instansi pemerintah dan penegak hukum dalam memberantas pungli.

Sependapat jika Presiden Jokowi memberikan penegasan, ia tidak main-main dalam memberantas pungli dan korupsi, ASN yang masih berani korupsi dan pungli diinstruksikan untuk dipecat. Pernyataan presiden, “uang pungli Rp. 10.000,- pun akan diurusinya”, ini merupakan sikap keprihatinannya yang mendalam terhadap merebaknya pungli disemua lapisan masyarakat. Konon kejadian pemecatan pungli pernah terjadi di Kota Surabaya tahun 2014, seorang ANS hanya menerima uang pungli Rp. 20.000,- dipecat oleh walikotanya. Hal itu dilakukan tentunya setelah walikota memberikan rambu-rambu dan peringatan secara menyeluruh kepada jajaran Pemkot Surabaya.

Ungkapan presiden itu perlu dimaknai secara simbolik sebagai tekat seorang pemimpin bangsa untuk membebaskan negara ini dari sebutan “negeri pungli dan korupsi”. Namun yang tidak kalah penting dalam penanggulangan ini adalah peranserta masyarakat. Masyarakat mempunyai peran besar dalam upaya memberantas pungli, tanpa adanya peranserta masyarakat akan sulit memberantas pungli dan korupsi.

Supaya masyarakat dapat berperan, pemerintah pusat maupun di daerah perlu membentuk satgas pengaduan dan penindakan pungli lintas instansi. Masyarakat semakin cerdas, perangkat seperti smartphone dan sejenisnya akan menyajikan bukti nyata terjadinya pungli yang dapat diunggah sewaktu-waktu, melalui media sosial seperti twitter, facebook, atau e-mail dan media pengaduan lainnya yang disediakan oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun