Mohon tunggu...
Jall Pomone
Jall Pomone Mohon Tunggu... Menulis -

Bahagia Ketika Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengungsian Rohingya Mirip dengan Kisah Warga Desa Gamhoku Tobelo?

14 September 2017   05:10 Diperbarui: 14 September 2017   09:43 1808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah tentang Rohingya sedikit membuka kembali kisah-kisah yang saya dapati ketika mejalani hidup di sebuah Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara, tepatnya di Kota Tobelo. Kota yang sempat ikut merasakan sebuah pertikaian horisontal dengan isu agama, yang terjadi beberapa tahun lalu.

Kejadian konflik di Tobelo asal mulanya terbawa dari Provinsi Maluku, Ambon, dimana konflik horisontal tersebut mulai terjadi hanya dikarenakan oleh sesuatu yang tidak begitu jelas bahkan simpang siur, namun dari beberapa cerita dan pernyataan dari aparat keamanan, jika diruntut kejadian bermula dari ketersinggungan dua pemuda berlainan agama di sebuah pasar di Ambon.

Namun disini saya ingin menceritakan pengalaman dan kisah-kisah yang saya dapatkan dari beberapa pelaku yang terjadi di wilayah Tobelo. dimana Tobelo adalah sebuah kota kecil, yang didiami oleh separuh beragama Kristen dan separuhnya lagi beragama Islam, namun yang menjadi catatan saya adalah, kedua kelompok beda agama ini justru memiliki ikatan kekerabatan diantara mereka sangat dekat. Bahkan bisa dikatakan sangat akrab karena mereka masih dalam satu ikatan keluarga.

Cerita pertama kali yang saya dapatkan ketika sayta berdomisili di sebuah wilayah dusun yang disebut "jalan Baru" disini kebanyakan penduduknya beragama Islam, ditandai dengan sebuah Mesjid Raya yang sedang dalam masa pembangunan. selain "Jalan Baru" ada juga yang namanya "Kampung Cina" juga kebanyakan didiami oleh umat Islam, sekitar 4 wilayah dusun kebanyakan dihuni oleh keluarga dari muslim.

Dan sekitar 5 dusun lainnya dihuni oleh sebagian besar keluarga yang beragama Kristen. namun secara garis besar, di pinggiran Kota Tobelo banyak desa-desa yang hampir mencapai 90 persen dihuni oleh umat Kristiani, hingga ke wilayah Kecamatan Kao. Namun ke arah sebaliknya justru lebih banyak di huni oleh beragama Islam terutama di Kecamatan Galela. 

Perseteruan konflik horisontal tersebut, mulai bermunculan dengan sikap antipati dari beberapa kedatangan keluarga mereka yang selama ini bermukim di Ambon yang kemudian kembali ke Tobelo karena konflik di Ambon semakin memanas, bahkan cerita-cerita yang dibawa cukup membuat bulu nyawa berdiri, belum lagi beredarnya beberapa video dalam bentuk VCD dan DVD yang berisikan gambaran dilapangan ketika konflik sedang terjadi di Ambon, dan VCD dan DVD tersebut anehnya begitu mudah didapat.

Masih belum adanya sambungan selular cukup membuat suhu dan kondisi di Tobelo semakin memanas, bahkan beredar cerita-cerita jika di Kota Ternate dan Tidore yang memiliki penduduk muslim terbanyak, sudah terjadi konflik dengan pengusiran, penganiayaan dan penghancuran rumah-rumah milik warga yang beragama Kristen. akibatnya suhu yang sudah memanas, bagaikan api kecil kemudian disiram bensin, maka meledaklah kota Tobelo.

Sebagian besar warga Muslim terpaksa menyelamatkan diri, dikarenakan serangan secara bergelombang dari pinggiran Kota Tobelo yang jaraknya tidak begitu jauh dari dalam Kota Tobelo, semakin besar. Hingga akhirnya sebuah pasukan milik TNI AD yang tergabung dalam Kompi C Banau yang berdomisili di Kota Tobelo mengambil inisiatif untuk membantu menyelamatkan sebagian warga Muslim Kota Tobelo untuk mengungsi kedalam Kompleks militer mereka.

Namun tidak bagi warga sebuah desa yang bernama Desa Gamhoku, yang dihuni oleh sebgaian besar umat Islam, yang kebetulan posisinya berada di tengah-tengah Kecamatan Tobelo Selatan. Dan Kecamatan Tobelo Selatan ini, hampir 80 persen penduduknya beragama Kristen. Maka tidak adanya akses jalan lainnya, mengakibatkan sebagian besar warganya terpaksa memasuki hutan lebat untuk menyelamtkan diri dari serangan yang datang dari warga yang beragama Kristen. 

Dan kisah perjalanan mereka selama di dalam hutan untuk menuju ke Kecamatan Galela, yang dianggap aman, harus ditempuh dengan cukup berbahaya, karena untuk menempuh perjalanan menuju Galela mereka harus melewati wilayah dan hutan yang berada di sekitar Kota Tobelo dimana sekitar hutan, banyak kebun-kebun milik warga tani Tobelo.

Salah satu warga Desa Gamhoku yang sempat menceritakan kepada saya sekitar tahun 2004 lalu, mereka harus bisa berjalan masuk ke dalam hutan lebat, dikarenakan takut berpapasan dengan warga Kristen. dan perjalanan jika siang hari cukup ditempuh dengan lambat, terkadang mereka berjalan pada malam hari dikarenakan dirasa lebih aman. Selain itu mereka juga adalah petani yang biasa berkebun di dalam hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun