Bulan berkilau menantang malam, terkadang memudar dalam kesia-siaan. Purnama sempurna, Â aku nikmatinya dengan makan malam bersama Merly dan beberapa kawan. Ia sedikit mabuk, hingga bercerita banyak hal yang membuat perempuan terhormat tersipu. Aku dan Merly biasa memperbincangkannya, tetapi bagi yang lain hal itu tabu untuk dibicarakan. Namun, di saat kami bersendau tentang laki-laki tampan dan segala pernik-perniknya semua menikmatinya. Merly menterawakan kisahku yang kuceritakan tentang hubungan yang fatal, sebuah perpisahan mengoyak luka selembut sutra.
Makan makan belum usai, namun aku sudah merasakan letih yang sangat. Tertawa konyol mendengar banyolan-banyolan seksi, aku pamit masuk ke kamar. Badanku letih dan aku merindukan laki-laki yang meninggalkanku menghadap Tuhan terlebih dahulu.
Sudah tiga malam ini kami menginap di sebuah kamar hotel di kawasan puncak. Udaranya yang dingin membuatku semakin menggigil. Merly mengikutiku ke kamar.
"Apakah, kau butuh jasa pijat?"
"Adakah? Bisa dipanggil ke kamar?" tanyaku.
Sesampai di kamar Merly memberiku sebuah pil, sambil berkata;
"Minum ini supaya badanmu segar kembali esok pagi. Supaya kita dapat lanjutkan jalan-jalannya."
Kemudian Merly membantu membuka bajuku. Lalu aku menuju tempat tidur.
"Jika, mau tidur. Tidur saja dulu, aku akan menemani yang lain di ruang karaoke. Oiya, aku sudah memanggilkan jasa pijat, tunggu saja nanti kemari. Pintunya tidak usah kau kunci, sudah kuberitahu nomer kamar kita," kata Marly sambil mengganti lampu kamar dengan yang redup. Dan, meninggalkanku sendiri.
Kepalaku agak berat, tetapi jika aku tiduran bisa langsung tertidur. Lalu aku duduk mendekat jendera kamar sambil memandang keluar. Di luar, cermin langit memantulkan bayang-bayang pepohonan. Lama tidak ada yang datang. Tiba-tiba pintu kamarku di buka dan kulihat siluet jangkung tidak kukenal mendekatiku.
"Mbak jasa pijatnya sudah datang," gumanku.