"Ayo. Serang"
"Awas mundur-mundur"
"Woe, jangan berdiri saja. Tiarap"
...
Waskita langsung berteriak hebat ketika ia mendapati lima remaja tengah khusyuk beribadah dalam game onlinenya. Di serambi  mushola yang dulunya merupakan wakaf dari leluhurnya.
Sontak kelima pemuda yang kelak bisa saja ada yang menjadi presiden atau anggota dewan atau anggota satpol pp ini semburat. Maklum, selain dengan teriakan, Waskita membawa rotan yang siap untuk dihantamkan pada kepala mereka.
"Ini rumah Gusti Allah. Buat ibadah. Bukan main game online."
Demikian Waskita mengakhiri pidatonya selepas sholat Isyak di serambi. Saya dan beberapa warga menyimak.
Pak RT yang juga menjabat sebagai takmir mushola manggut-manggut.
"Harus ada tindakan. Ada solusi" Waskita menambahkan dengan nada yang sengak.
Hartono yang duduk di sebelah saya angkat tangan. Pak RT mengangguk.
"Remaja-remaja di sini itu sudah jarang sekali ke mushola. Mereka lebih memilih ibadah di warung kopi."
"Langsung intinya saja. Jangan bertele-tele." Waskita memotong dengan ketus.
Hartono tahu betul, Waskita memang begitu tabiatnya. Suka naik pitam. Kami sudah paham. Saya, Hartono, dan Waskita dulu teman semasa sekolah.
Waskita dari keluarga berada. Semua keinginannya sudah pasti akan dituruti abahnya. Hal yang mustahil saya dan Hartono alami.