Saya tiba di Kopi Paste lebih dulu. Kopi Paste dipilihnya sebagai tempat ketemuan bukan karena dia sering nongkrong di situ, tetapi karena Radif juga tahu tempat itu.
Saya duduk di sebelah pasangan yang ngobrol dengan intimnya. Eh, mungkin lebih tepatnya akrab kali ya. Sebenarnya banyak meja kosong. Tapi saya pilih yang menghadap ke jalan. Biar mudah menjangkau Radif.
Kehadiran saya di situ sepertinya tidak mengganggu pasangan itu. Tak sedikitpun mereka melirik atau sekadar menghentikan obrolan.
Saya tak perlu memesan apapun. Karena penjaganya sudah tahu. Saya cukup duduk saja. Tanpa berucap. Lalu datang kopi favorit saya.
Sembari menunggu saya baca bukunya Andrea yang baru. Orang-Orang Biasa. Tapi telinga saya sepertinya lebih aktif mendengarkan obrolan pasangan di sebelah saya.
"Kapan pun kamu siap, saya siap. Lagipula, anak-anak sudah tahu kamu seperti apa" ujar si perempuan.
"Mantan suami kamu gimana?" balas si pria
"Saya sudah bilang. Harus berapa kali lagi. Perceraian itu sudah mengakhiri semuanya. Sampai kapan kamu terus-terusan menanyakan hal itu" si perempuan nadanya kesal.
Saya lirik sekilas. Tangan si pria meremas tangan si perempuan. Suasana hening.
Mata saya kembali pada buku. Tapi kepala lebih fokus menyimak informasi dari telinga.
"Beri saya waktu sebulan lagi. Aku akan selesaikan beberapa hal mengganjal. Lalu  kita akan menikah" ujar si pria menenangkan.