Ia letakkan koran itu di meja. Teh hangat yang sedari tadi ludes, masih saja ia minum. Wajahnya gelisah.
"Bagaimana bisa. Perempuan selalu menjadi tumbal." Ia berbicara dengan penuh rasa getir.
Beranda itu sepi. Beberapa kupu yang berlalu lalang di situ, sepertinya enggan menanggapi pembicaraan itu.
"Okey. Perempuan itu jalang. Okey. Tapi, itu sangat kompleks. Harusnya kamera diarahkan juga pada lelaki jalang itu." nadanya mulai meninggi.
"Pelacuran tidak lahir dari rahim perempuan. Ia lahir dari situasi sosial. Dan, perempuan menjadi semacam satu-satunya manusia terkutuk karenanya. Ini namanya keadilan yang dilacurkan." perempuan itu berdiri. Matanya nyalang.
"Tragisnya. Yang mengecam pelacur perempuan itu juga datang dari perempuan. Seakan-akan, penyumpah itu adalah manusia suci. Sementara undang-undang juga lebih memilih diam pada pihak laki-laki" kali ini dia mulai membanting meja kayu di depannya.
Ia berteriak-teriak mengepalkan tangannya. Suasana sore yang semula sepi itu, kini mulai ramai. Beberapa warga berdatangan mencari sumber kegaduhan.
Di beranda itu, perempuan setengah baya itu tertawa terbahak-bahak. Ia dengan riang memberikan penjelasan pada warga.
"Mohon maaf Bapak dan Ibu yang berbahagia. Saya lagi latihan monolog. Ini bukan marah-marah seperti yang Bapak Ibu dengar."
Beberapa warga nampak emosi. Mendapati itu, perempuan itu segera pegang kendali. Ia dengan kecepatan kilat masuk ke rumahnya. Dengan cepat pula membawa banyak bungkusan. Ia bagikan semua yang ia bawa pada orang-orang berjubel di depan rumahnya.
"Jangan diulangi lagi ya Bu. Kita hidup lagi susah. Jangan tambahi dengan lelucon yang kurang bermutu." pesan Pak RT. Lelaki itu menyalaminya sembari berlalu membawa bungkusan yang lebih besar.
Ketintang
08/01/18