Ketika masih sering bepergian naik bus, saya kerap menyempatkan diri mampir ke toilet. Menunaikan hajat. Kemudian tentu saja bayar. Meski kondisi toilet sangat mengenaskan, membayar merupakan sebuah kewajiban.
Di beberapa mall, saya kadang juga tidak lupa 'pinarak' ke toilet. Meski hanya sekadar cuci muka. Begitu keluar dari pintu, ada kotak dan penjaganya. Tentu saja saya tahu diri. Bayar dan lalu pergi.
Begitu juga ketika di pom bensin. Ada toiletnya pula. Meski tidak sering, saya juga kadang mampir. Menunaikan hajat. Lalu memasukkan uang ke kotak.
Di masjid juga demikian adanya. Saat berwudhu, kita menggunakan air. Entah itu dari sumur atau air premium (baca: PDAM). Apalagi kalau plus kencing. Belum lagi jika dalam perjalanan, dan darurat garagara perut melilit. Buang air besar tak terelakkan.
Pernah saya ke toilet masjid. Di temboknya berisi himbauan. Isinya, menyarankan untuk siapa saja yang membasahi bumi (kencing) untuk beramal. Asumsinya jelas, uang yang kita jariyahkan untuk perawatan dan lainnya.
Di masjid, ketika kita memasukkan uang ke kotak amal, akan aktivitas berwudhu atau toilet, Â tentu nilainya dua.
Pertama, sejatinya kita sedang berbisnis dengan Allah SWT. Namanya amal jariyah. Bukankah sudah dijanjikan dalam kitab suci kita, jika setiap amalan akan diganti berlipat ganda.
Kedua, untuk kelangsungan operasional masjid itu sendiri. Bayar listrik untuk pompa air. Bayar iuran PDAM. Bayar lampu penerangan dll.
Maka, jangan lagi kita bicara besar dan kecil dalam urusan seperti itu. Jangan menyepelekan 500 perak, misalnya saja.
Atau menunggu dapat rezeki melimpah baru menyumbang masjid. Sementara rezeki melimpah itu yang seperti apa juga tidak akan pernah jelas. Sebab pada dasarnya, dalam urusan demikian, kebanyakan selalu merasa kurang.
Mari, kita mulai berniaga dengan Allah. Minimal 500 perak untuk tiap fasilitas yang kita nikmati di rumah Allah. Atau seperti informasi kajian dari remaja muslim kita: siapkan infak terbaikmu.
Demikian pesanku pada diri sendiri.
---
Jumat Mubarak
22/6/18