Ekstrakurikuler karawitan tak selalu dipunyai oleh sekolah. Sekalipun sekolah yang berada di Jawa, pun berada di Bali. Sebab, untuk mengadakan gamelan, sebagai salah satu sarana ekstrakurikuler karawitan, membutuhkan anggaran yang relatif besar.
Kalau suatu siang, sehabis jam pembelajaran intrakurikuler, dari salah satu bangunan di sekolah tempat saya mengajar terdengar bunyi gamelan, itu karena ada beberapa siswa kami sedang mengikuti ekstrakurikuler karawitan. Jumlah mereka tak banyak.
Mereka, agaknya, siswa yang sudah memiliki hobi bermain gamelan. Sebab, sejak awal mengikuti ekstrakurikuler karawitan, mereka sudah bisa memainkan gamelan.
Saya mengetahui kemudian, berdasarkan informasi dari beberapa siswa lain, mereka telah tergabung dalam kesenian barongan di tempat mereka tinggal. Perkampungan di sekitar lokasi sekolah kami, memang ada beberapa paguyuban barongan.
Dan, mereka dibesarkan dalam lingkungan orang-orang yang tergabung dalam paguyuban barongan ini. Orangtua di antara mereka bahkan ada yang menjadi anggota paguyuban barongan. Jadi, kalau sejak semula, mereka sudah mengenal gamelan sangatlah wajar.
Lingkungan dapat menjadi guru mereka. Orang-orang dewasa, termasuk orangtua mereka yang menjadi anggota paguyuban barongan, secara langsung menjadi guru mereka.
Ini guru yang sekaligus menginspirasi dan membakar semangat mereka memainkan barongan. Yang, faktanya seni barongan tak dapat dilepaskan dari gamelan. Mereka pintar bermain gamelan, juga bermain barongan.
Hanya, sekolah kami tak membuka ekstrakurikuler kesenian barongan. Sekolah kami hanya membuka ekstra karawitan. Yang, di dalamnya, siswa diajar juga menembang, yaitu menyanyi dalam bahasa Jawa.
Ekstrakurikuler karawitan yang langka di daerah kami, karena tak setiap sekolah membuka atau memiliki ekstrakurikuler ini, riilnya berbanding lurus dengan siswa yang bergabung di dalamnya. Sebab, jumlah siswa yang bergabung dalam ekstrakurikuler karawitan tak banyak alias sedikit. Artinya, sangat langka siswa yang mau belajar di bidang seni karawitan.