Akhir-akhir ini, istilah "barak", atau lebih lengkapnya "barak militer" identik dengan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat (Jabar). Atas kebijakannya terhadap siswa yang, katanya, nakal dididik di barak militer.
Apalagi kebijakan ini menimbulkan pro-kontra di banyak kalangan. Sehingga, kebijakan ini semakin mengangkat nama Dedi Mulyadi semakin ke permukaan.
Siapa pun akhirnya mengetahui. Mungkin juga termasuk anak-anak. Yang, berdomisili di Jabar sudah pasti mengetahui. Anak-anak di daerah lain pun, bahkan di luar Jawa, sudah mengetahui. Anak-anak di luar negeri? Bisa jadi juga mengetahui.
Sebab, kekuatan energi media tak dapat dibendung. Dalam hitungan menit, bahkan detik, informasi dapat tersebar ke mana-mana secara serentak. Mereka yang berada di tempat yang berbeda bisa saja mengetahui informasi termaksud secara berbarengan.
Itulah kekuatan energi media. Apalagi kalau setiap orang yang mendapatkan informasi, langsung membagikan ke pihak lain. Baik ke pribadi maupun grup. Dan, sudah pasti tak sekadar cepat, tetapi juga menyebar dalam keluasan yang tak terhingga.
Jadi, sangat wajar kalau perihal barak militer di Jabar yang dimanfaatkan sebagai tempat mendidik siswa yang memiliki "kelebihan energi" akhirnya menjadi bahan renungan dan pemikiran banyak orang, termasuk pejabat dan para pakar.
Tak kurang dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, yang memberi apresiasi terhadap program ini. Sebab, menurutnya, pengiriman anak yang memiliki kelebihan energi ke barak militer ini tak untuk dihukum, tetapi diedukasi mental, karakter, dan disiplinnya.
Hal ini senada dengan pemikiran Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi atau yang dikenal dengan panggilan Kak Seto. Yang, memandang bahwa program ini positif sebab menguatkan karakter siswa. Pembina unsur militer tentu tetap menggunakan pendekatan anak, bukan pendekatan militer.
Ia bahkan berjanji, atas nama LPAI, akan terus memantau perkembangan program ini. Saat mengunjungi siswa yang dididik di barak Rindam III Siliwangi, Lembang, Jawa Barat (Jabar), ia memberi spirit secara positif dan produktif terhadap para siswa.
Tetapi, di sisi lain, ada yang kurang sepakat terhadap kebijakan Gubernur Jabar ini. Misalnya, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, yang memunculkan ide berbeda dalam menangani siswa atau anak yang memiliki problem sama seperti siswa atau anak yang di Jabar, yang seperti di atas sudah disebut, dikirim ke barak militer.