Di sekolah tempat saya mengajar, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memasuki minggu kedua. Sejak pada hari pertama, sekolah mengelola pelaksanaannya agar memberi nilai tambah bagi siswa.
Tak sekadar siswa mendapat makanan (jasmani) secara gratis. Tetapi, sekolah mengelolanya agar mereka mendapat asupan spiritual, mental, dan sosial.
Tentu demikian juga di sekolah lain, yang sudah menerima MBG. Sekolah pasti menatanya agar siswa tak sekadar mendapat MBG. Tetapi, ada nilai yang memungkinkan dimiliki oleh siswa sebagai pengembangan dari MBG.
Karenanya, di beberapa sekolah, sejak hari pertama siswa dilibatkan langsung dalam melayani teman, bahkan sekolah dan rekanan yang menyediakan makanan.
Prinsipnya, pelibatan ini memudahkan dan membuat pihak lain merasa nyaman. Juga, bagi siswa sendiri menjadi pribadi yang kualitas nilai spiritual, mental, dan sosialnya semakin meningkat.
Misalnya, dalam segmen nilai spiritual siswa. Yang, biasanya mereka harus menyediakan sendiri makanan, bisa membawa dari rumah atau membeli, untuk dinikmati saat istirahat; sekarang mereka hanya menerima lantas menikmatinya.
Siswa dapat saja menikmati MBG dengan lahap. Bersyukur kepada Tuhan karena MBG sudah disediakan oleh pemerintah. Sehingga, siswa tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli makanan. Atau, siswa juga tak perlu menyiapkan dari rumah.
Tetapi, sangat mungkin ada siswa yang tak mau menikmati MBG. Faktornya, bisa saja kondisi tubuhnya kurang fit sehingga kurang berselera. Mungkin masih kenyang. Atau, memang kurang cocok dengan menu termaksud.
Untuk mengarahkan siswa tetap memiliki rasa syukur mengenai MBG, maka sebagian sekolah meminta siswa membawa tempat makanan. Hal ini dimaksudkan agar MBG yang tak dimakan tetap dapat diselamatkan. Dan, dibawa pulang.
Siapa tahu saat sudah berada di rumah, muncul selera untuk menikmatinya. Atau, sekurang-kurangnya dapat dinikmati oleh orang yang ada di rumah. Sekalipun tindakan ini salah. Sebab, MBG di sekolah memang untuk siswa, bukan untuk yang lain.