Sekolah menjadi wadah siswa untuk belajar. Baik belajar tentang pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Dan, keberadaan siswa yang belajar di dalamnya beragam.
Ada siswa yang pengetahuannya rendah, sedang, atau tinggi. Demikian juga keterampilan siswa. Ada yang kurang terampil, terampil, atau sangat terampil. Sama juga terkait sikap siswa, ada yang empati, kurang empati, atau antipati.
Keberagaman tak sekadar di ranah ini. Tetapi, ada juga keberagaman di ranah sosial-ekonomi. Ada siswa yang berasal dari keluarga mampu. Ada juga yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Demikian juga keberagaman ditemukan di ranah adat-istiadat, budaya, agama, ras, suku, dan golongan. Siswa atau sekelompok siswa dengan siswa atau sekelompok siswa yang lain, berbeda.
Sekalipun keberadaan siswa beragam, sekolah harus tetap menyediakan ruang yang menyenangkan bagi semua siswa. Tak terbedakan siswa atau sekelompok siswa dengan siswa atau sekelompok siswa yang lain.
Artinya, sekolah memang menjadi semacam taman yang menyenangkan bagi siapa pun yang memerlukan, seperti yang oleh Ki Hajar Dewantara sudah mewujudkannya pada zamannya. Kedatangan mereka karena ketertarikannya terhadap situasi dan kondisi taman yang memberikan kesegaran.
Kesegaran jasmani. Pun kesegaran rohani. Mereka memperolehnya di taman ini. Jadi, sekolah, yang seumpama taman ini, berarti memberikan kesegaran, baik kesegaran jasmani maupun kesegaran rohani bagi siswa.
Dalam konteks ini yang dimaksud kesegaran jasmani adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sementara itu, kesegaran rohani berkaitan dengan rasa aman, nyaman, dan bahagia.
Kesegaran jasmani dan rohani yang ada di sekolah memang harus diupayakan. Agar, siswa yang datang untuk "bermain" menemukan kesegaran. Yang, memang mereka membutuhkannya.
Mereka membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditopang dengan rasa aman, nyaman, dan bahagia. Dan, sekolah menyediakannya. Guru dan seluruh karyawan sekolah mengelolanya seperti pengelola taman.