Hari itu terlihat ada semacam euforia. Bahkan, untuk sebagian siswa seperti sedang memasuki panggung pertunjukan. Ditonton oleh banyak pasang mata. Sungguh ada suasana pamer di antara mereka.
Maka, adanya larangan, misalnya, memakai perhiasan (apalagi yang berlebihan) dan berhias diri bagi siswa putri juga merupakan upaya penyisteman sikap siswa tidak pamer.
Karena penyisteman seperti itu sudah berlangsung lama dan berkelanjutan di sekolah tempat saya mengajar, maka saat ini pun di sekolah kami tidak ditemukan siswa putri yang memakai perhiasan (apalagi yang berlebihan) dan berhias diri.
Ada beberapa siswa putri yang oleh teman-teman guru wanita dikatakan memakai liptint pada bibirnya, saya baru mengetahuinya.
Ini termasuk kategori merias diri kalau liptint-nya berwarna. Hanya, masih relatif wajar karena katanya berfungsi (juga) untuk pelembap.
Sejatinya sekolah rindu siswa pameran
Terhadap hal-hal yang bersifat fisik, seperti yang sudah diuraikan di atas, orang sering ingin dapat dilihat sebagai yang terbaik. Ini juga yang dihasrati oleh siswa. Yang, kemudian hendak mempertunjukkannya kepada banyak pihak.
Makanya, ada di antara mereka yang secara sembunyi-sembunyi berpenampilan berbeda, tidak seperti yang lain dan biasanya. Agar menjadi pusat perhatian. Ini salah satu prinsip flexing bukan?
Ada juga yang ketika ada momen tertentu dan disediakan kesempatan untuk bisa "bebas", mereka memanfaatkan kebebasan dengan tampil seheboh-hebohnya. Baik pakaian, aksesoris, maupun atribut yang lain diupayakan untuk menarik perhatian.
Sayang, tidak demikian halnya terhadap hal-hal yang bersifat nonfisik, misalnya kognitif, psikomotorik, dan afektif. Meskipun ranah ini yang dalam konteks pendidikan harus ditumbuhkembangkan dalam diri siswa.
Hingga kini hal-hal itu belum bisa memikat siswa untuk (mau) menjadikannya sebagai bahan ajang pameran, tidak flexing. Padahal, semaraknya pameran kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa dalam proses pembelajaran dirindukan oleh setiap sekolah.