Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Kita Memaknai Toleransi?

12 April 2022   16:59 Diperbarui: 12 April 2022   18:33 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Area ini menjadi pusat intoleransi, saat traffic light mati. (Sumber: m.liputan6.com)

Sehabis mengikuti ibadah di gereja, saya agak jauh berjalan menuju mobil yang kami kendarai. Kami parkir di pinggir jalan, yang memang disediakan area oleh pemerintah daerah untuk memarkir mobil. Kondisi aman karena ada mas tukang parkir (yang selanjutnya disebut tukang parkir) yang setia menjaga.

Jalanan dalam keadaan sepi. Tidak seperti umumnya ketika selain bulan Ramadan. Mungkin saja saudara-saudara yang menjalankan ibadah puasa, lebih nyaman berada di rumah. Beristirahat dari aktivitas sehari-hari, toh memang Minggu hari libur bekerja.  

Dengan beristirahat memanfaatkan hari libur bekerja lebih berharga daripada waktu tersebut digunakan untuk jalan-jalan, yang kurang penting dan melelahkan. Beristirahat di rumah justru bisa melepas kelelahan yang terakumulasi selama enam hari bekerja. Dengan begitu, kondisi badan kembali segar dan esoknya siap bekerja lagi.

Nah, kini kembali ke perihal kondisi jalanan sepi. Kondisi tersebut tak menandakan bahwa nihil orang atau pengendara yang melewati. Tetap ada, tapi tak ramai. Karena tak ramai, maka kami bermaksud memutar balik mobil agar jalur yang kami tempuh ke arah rumah tak terlalu jauh. Tepat pada bagian ini, tukang parkir berperan.

Ia membantu kami memutar balik mobil. Sehingga, saya leluasa memutarnya karena kendaraan yang dari arah lain diperlambat jalannya dan bahkan terlihat berhenti sesaat.

Saat saya memutar balik mobil sembari mengasihkan "hak" yang harus diterimanya karena sudah membantu kami, ia berucap sambil tersenyum: pasti toleransi,  pak.

Otak saya langsung mengaitkan ucapannya itu dengan pengendara motor yang disetop. Maksud saya --ini yang kemudian terpikirkan di otak saya-- ketika pengendara motor yang disetop melambat, lalu berhenti  dan saya berhasil memutar balik mobil, pengendara motor itu disebutnya memiliki sikap toleransi.

Semoga maksud yang terpikirkan di otak saya, benar. Artinya, kata "toleransi" yang diucapkan oleh tukang parkir memang benar(-benar) ditujukan kepada pengendara motor yang disetopnya, yang kemudian melambat dan berhenti sesaat agar saya mudah memutar balik mobil.

Sebaliknya, dalam dugaan saya (juga), jika pengendara tersebut tak melambatkan motornya, tapi tetap mengendarainya ketika tukang parkir menyetop, maka pengendara motor itu disebutnya sebagai orang yang tak memiliki sikap toleransi.  

Jika memang demikian, konsep yang terpikirkan di otak saya sama dengan apa yang dimaksudkan oleh tukang parkir. Jadi ya klop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun