Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadapi Anak yang Gagal dalam Cita-cita, Bagaimana Menyikapinya?

28 Januari 2022   14:40 Diperbarui: 29 Januari 2022   01:00 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak murung karena gagal meraih cita-citanya. Sumber: iStockphotos/KatarzynaBialasiewicz via Bobo.grid.id

Setiap anak memiliki angan, cita-cita, atau harapan. Misalnya, berharap bisa bersekolah di sekolah tertentu. Hanya, kadang angan tak sesuai dengan kenyataan. Karena, si anak gagal tak dapat bersekolah di sekolah harapan.

Rasa sedih yang dialami. Rasa itu tak mungkin dihindari. Tapi, mungkin biasa kalau hanya sebatas merasa sedih. Sebab, siapa pun bisa mengalami rasa sedih kalau cita-citanya tak terkabul. Rasa sedih dapat segera pulih kalau dihibur dan dikuatkan.

Dengan begitu, anak (akhirnya) bisa menerima kenyataan yang dihadapi. Keadaan bisa menerima kenyataan ini, umumnya diikuti dengan kemauan untuk  bangkit. Sehingga, tumbuh angan, cita-cita, atau harapan lagi.

Hal itu sangat berbeda dengan, kalau mengalami kegagalan diikuti rasa tertekan, stres, yang seakan tak ada harapan lagi. Merasakan bahwa "sesuatu" yang sudah dibangun dengan keyakinan kokoh, roboh. Sehingga, tak lagi mau bangkit. Dalam waktu sesaat, bisa saja berperilaku tak seperti biasanya, menangis sejadi-jadinya dan bergulung-gulung di lantai.

Saat seperti itu, tak mungkin ada cara yang dapat digunakan untuk menghentikan. Anda bisa kehilangan cara untuk membujuk, merayu, atau apalah itu namanya, untuk menghentikan perilaku beda tersebut.

Bisa-bisa Anda terpancing dan akhirnya terbawa emosi. Lalu, bersikap sangat emosional dan sikap itu malah semakin memperparah keadaan anak. Karenanya, pada titik ini dibutuhkan kontrol emosi. Tidak terbawa emosi anak. Justru sebaliknya, kita menenangkan benak, merenung, dan irit bicara. Bahkan, kalau dimungkinkan lebih baik sementara diam (saja), namun tetap berada di dekat anak.

Saya pernah menghadapi keadaan seperti itu, ketika si sulung gagal diterima di perguruan tinggi (PT) idamannya. Dia sungguh yakin pada awalnya dapat diterima, tapi tak begitu kenyataan yang didapatnya. Ia stres. Tekanan mental yang berat itu tampak pada tangisnya yang saya yakin dapat didengar hingga rumah tetangga sekitar. Juga perilaku menggeluntung di lantai dengan rambut acak-acakan. Sungguh menyedihkan.

Saya ikut menangis dalam hati. Hanya dapat menatapnya dengan iba. Saat itu, saya hanya diam dan berdoa agar ia tetap kuat menghadapi kenyataan itu. Sekaligus saya berharap saya tak terbawa emosi untuk buru-buru menghentikan tangis dan ekspresi tubuhnya yang tak biasa itu.

ilustrasi: Mendampingi anak yang menghadapi problem. (Sumber: www.popmama.com)
ilustrasi: Mendampingi anak yang menghadapi problem. (Sumber: www.popmama.com)

Untung saya dikuatkan untuk dapat bertahan diam, menatapnya, dan tak buru-buru bicara. Andai saya buru-buru bicara terhadapnya pada saat berada di "puncak-puncaknya" terkena tamparan kegagalan itu, sudah pasti tangisnya dan ekspresi tubuhnya yang tak biasa itu semakin menjadi-jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun