Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kini, Intelektual Tak Lebih Urgensi

15 Oktober 2019   14:04 Diperbarui: 15 Oktober 2019   14:08 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Semua orang tua menyekolahkan anaknya selalu berorientasi pada pengetahuan. Artinya, bagi orang tua, seluruh kegiatan persekolahan untuk membangun pengetahuan anaknya. Dan memang benar bahwa semua mata pelajaran (mapel) di sekolah memiliki kecenderungan menyiapkan anak-anak agar cerdas. Kenyataan itu (tentu) gayung bersambut dengan harapan orang tua.

Makanya, yang selalu ditanyakan orang tua kepada anaknya yaitu tentang "dapat" atau "tidak" mengikuti pembelajaran di sekolah.Kalau kemudian ditengarai anaknya tidak dapat mengikuti pembelajaran alias ketinggalan pelajaran, orang tua pasti memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar (bimbel). Atau, setidak-tidaknya menambah belajar anaknya lewat les. Bahkan, bukan mustahil bagi orang tua yang beruang mengundang guru privat, yang tentu saja tarifnya mahal.

Semua itu dilakukan oleh orang tua agar pengetahuan anaknya bertambah. Sekurang-kurangnya agar tidak ketinggalan pelajaran, yang mengakibatkan anaknya tidak naik kelas. Karena selama ini penentuan kenaikan atau kelulusan berdasarkan nilai pengetahuan. Kalau nilai pengetahuannya rendah dari batas kriteria tertentu, anak pasti tidak naik kelas.

Kenyataan itu yang selama ini masih menjadi momok bagi orang tua dan (tentu saja) anak. Oleh karena itu, orang tua bekerja keras mengusahakan agar anaknya cerdas. Tidak peduli harus mengeluarkan banyak uang yang penting anaknya menjadi cerdas. Biaya untuk tambahan belajar anak, baik di bimbel, les di rumah guru, maupun privat, tidak sedikit. Bisa-bisa biayanya melebihi biaya di sekolah, apalagi di pendidikan dasar (di SD dan SMP, misalnya) yang memang gratis alias tanpa biaya.

Perjuangan yang sedemikian ternyata tidak selalu memenuhi harapan. Sebab, faktanya dalam bidang pengetahuan anak-anak kita tidak berada di atas anak-anak dari bangsa lain. Hasilnya dapat dilihat di antaranya dari hasil tes PISA. Anak-anak kita berada jauh di bawah anak-anak negeri jiran. Hasil tes PISA 2015, misalnya, menempatkan Singapura peringkat pertama dari 70 negara. Dengan Thailand dan Vietnam pun, Indonesia jauh di bawah.

Secara sederhana saya melihat hal tersebut terjadi karena sesungguhnya dampak pendidikan mental anak-anak kita ini belum terlihat. Sebagai bukti, sebagian besar anak kita tidak mau bekerja keras. Dalam hal belajar mereka masih harus dikontrol. Belum dapat belajar secara mandiri. Di sekolah, misalnya, mereka belum mau belajar kalau tidak ada guru.

Setelah ada guru, baru bersiap-siap belajar, itu pun anak yang tergolong baik. Sebab, ada anak-anak yang harus disuruh mengeluarkan bukunya terlebih dahulu baru bersiap-siap belajar. Kalau tanpa perintah, ia tak beranjak untuk belajar.

Pendidikan mental, dengan demikian, harus menjadi fokus kerja kita terlebih dahulu. Saya berkeyakinan  selama pendidikan mental anak-anak belum berarti, tidak mungkin pengetahuan mereka meningkat.

Nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, kepedulian, saling menghargai, dan bekerja keras pantang menyerah, di antaranya, merupakan materi pokok yang harus dihayati oleh anak-anak melalui pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Itu sebabnya, orang-orang dewasa (orang tua sendiri di antaranya) harus memiliki mental yang baik  terlebih dahulu. Rasanya tidak mungkin pendidikan mental anak-anak berhasil kalau orang-orang dewasa yang mendidik mereka tidak bermental baik. Sebab, umumnya anak-anak lebih banyak meneladani orang-orang dewasa yang ada di sekeliling mereka.

Kalau orang-orang dewasa di sekeliling mereka bermental baik itu modal positif. Sebab, anak-anak memiliki teladan yang baik. Dan, sekaligus memiliki "guru" yang dapat diandalkan.

Guru dengan demikian harus bermental baik. Beberapa hal yang menandai guru bermental baik adalah disiplin waktu, konsekuen, merespon peserta didik sesuai dengan kenyataan, bertanggung jawab, pekerja keras, tegas, berwibawa, peduli, berbicara sopan, dan bekerja secara profesional. Tidak hanya dapat berteori.

Banyak menasihati, tetapi tidak mempraktikkan untuk diri sendiri. Pepatah kuna tentang guru tampaknya masih relevan untuk konteks ini bahwa guru itu sosok yang dapat digugu dan ditiru, artinya guru dapat dipercaya kata-katanya dan dapat diteladani perilakunya.

Pendidikan mental memang bukan teori, melainkan praktik hidup. Anak-anak zaman now tidak membutuhkan teori untuk memiliki mental yang baik. Mereka sudah terlalu banyak mendapat teori. Nasihat bijak dari orang tua, guru, dan orang-orang dewasa yang termasuk kerabat didengarkan setiap waktu. Mereka membutuhkan praktik yang dapat mereka lihat dan teladani.

Sementara praktik sikap hidup (baca: mental) yang baik jarang mereka jumpai. Yang banyak mereka jumpai dalam kehidupan keseharian, baik secara langsung maupun tidak (melalui media cetak atau elektronik) justru  mental yang buruk. Di antaranya, tidak peduli, berbohong, berbicara tidak sopan, memfitnah, ujaran kebencian, dan ingin menang sendiri.

Semua itu boleh dibilang sebagai pendidikan yang tanpa disadari merasuk dalam jiwa anak-anak. Sekalipun tidak diajarkan kepada mereka, tetapi karena setiap hari mereka menjumpainya ya seakan mendidik atau mengajari mereka. Apalagi secara sosiologis hal-hal yang buruk umumnya lebih mudah dan cepat (untuk) ditiru. Kenyataan itu yang, saya kira menyebabkan mental sebagian anak kita, maaf, buruk, sekarang ini.

Oleh karena itu, pemerintah mulai memperhatikan pendidikan mental. Salah satunya dengan cara memunculkan  mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dalam kurikulum 2013. Dalam kurikulum sebelumnya, KTSP, mapel itu tidak ada. Yang ada adalah mapel Pendidikan Agama, yang tak diikuti "Budi Pekerti"

Sekalipun dalam kelangsungannya (kemudian) saya melihat tetap sama seperti kelangsungan dalam KTSP. Tidak ada penekanan khusus tentang aspek budi pekerti.  Pun ketika waktu pembelajaran bertambah dari dua menjadi tiga jam pelajaran.

Dalam kebijakan juga ada penguatan pendidikan karakter (PPK) yang harus termuat di dalam semua mapel. Tetapi,  setali tiga uang dengan "budi pekerti" yang bersanding dengan mapel Pendidikan Agama. PPK dalam mapel-mapel yang lain (selain mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti) juga tidak terasa praktiknya. Sebab, kelangsungan pembelajaran mapel-mapel itu tetap seperti gaya lama. Tidak ada perubahan. Penekanan PPK belum terbukti.

Saya berpikir, pendidikan mental tidak cukup dibangun secara struktural melalui lembaga sekolah. Sekalipun dalam kurikulum ada muatan pendidikan budi pekerti dan PPK, saya  tak yakin mental anak-anak lebih baik. Sebab, kebijakan-kebijakan struktural lebih banyak bermuatan politis dan teoretis. Sementara pendidikan mental membutuhkan praksis kultural.

Jadi, perlu ada penguatan kearifan-kearifan kultural yang (mampu) mendorong pendidikan mental anak. Dalam keluarga, misalnya,  ditumbuhkan kebiasaan ngobrol-ngobrol, yang selama ini terdesak oleh kesibukan dan budaya gawai. Melakukan pekerjaan keluarga secara bersama-sama. Sehingga antaranggota keluarga terbiasa saling mendukung dan menolong.

Menghidupkan lagi kebiasaan kumpul-kumpul  dengan tetangga, yang melibatkan anak-anak. Memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bermain dengan anak-anak tetangga. Sangat dianjurkan para orang tua memfasilitasi aktivitas anak-anak,  misalnya, mendatangkan komunitas pendongeng, entrepreneur muda, dan sejenisnya, yang memungkinkan anak-anak beraktivitas bersama dan saling mengenal.

Tak kalah penting, permainan-permainan tradisional yang kini telah "tergusur" oleh game online untuk diadakan lagi. Sebab, nilai-nilai kegotongroyongan, kerja keras, kepedulian, tanggung jawab, kejujuran, dan tenggang rasa, misalnya, terkandung di dalamnya. Bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun