Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peluang Kerja Banyak Order

23 September 2019   16:02 Diperbarui: 23 September 2019   16:05 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MEBEL: Kreativitas seni tukang kayu (dok. pribadi)


Saat saya bertemu orang, terutama orang yang baru, selalu memiliki kehendak (dengan semangat) untuk berbincang-bincang. Pasalnya, pasti ada banyak hal baru yang dapat diperbincangkan. Sekalipun (mungkin) hal yang diperbincangkan sama dengan hal yang sudah-sudah, tetapi karena dengan orang yang baru maka suasananya menjadi berbeda. Dan, karenanya tetap menarik untuk diperbincangkan.Jadi, pertama-tama bukan hal yang dibicarakan. Tetapi, orang yang membicarakan. Karena orang yang baru sangat mungkin memandang dengan sudut pandang berbeda terhadap hal yang umum telah dibicarakan banyak orang. Dan, saya yakin semangat saya dalam berbicara tentu memberi pengaruh tersendiri. Sehingga orang yang baru yang saya ajak berbicara menjadi bersemangat.

Hal yang klasik yang sebetulnya menjadi bahan perbincangan. Tentang pekerjaan, orang tua, profesi orang tua, dan lain-lain. Saya katakan hal yang saya sebut di atas sebagai hal yang klasik karena hal-hal itu selalu menjadi bahan pembicaraan orang di mana-mana saat ada perjumpaan. Dalam situasi formal atau informal. Sesuatu yang biasa  dibicarakan.

Sahabat baru saya bersemangat membicarakan profesi ayahnya. Sebelumnya memang saya menanyainya (terlebih dahulu) tentang ayahnya, lalu profesinya. Profesi ayahnya tukang kayu. Ayahnya sering mendapat permintaan membuat mebel. Juga  membuat kerangka pintu dan jendela rumah. Bahkan, sampai melayani pembuatan atap rumah. Sehingga ayahnya begitu sibuk. Permintaan dari orang-orang yang membutuhkan keterampilan ayahnya selalu antre. Tidak dapat langsung dilayani.

Pembuatan mebel yang tempatnya di rumah sering dikerjakan di sela-sela pekerjaan panggilan, terutama pekerjaan pembuatan rumah. Saat tidak mengerjakan pekerjaan panggilan, pekerjaan membuat mebel dilakukan. Sehingga hampir-hampir tak ada waktu menganggur. Setiap hari selalu bekerja. Kalau tidak mengerjakan pekerjaan panggilan, ya mengerjakan  mebel.

Tanpa sengaja pembicaraan itu mengingatkan saya kepada salah seorang tetangga yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ia yang mengerjakan rumah kami. Dari membeli kayu, membelah, mengeringkan, membuat kerangka hingga rumah jadi, semua yang terkait dengan kayu, ia yang mengerjakan. Bahkan, pengecatan juga dikerjakannya.

Profesi tukang kayu memang dapat mengerjakan banyak hal. Sehingga membutuhkan multi keterampilan. Ini yang tidak dimiliki banyak orang. Dan mungkin karena itu yang akhirnya kita tidak menemukan banyak tukang kayu. Setahu saya, di tempat tinggal kami  hanya tetangga saya itu. Sehingga ia pun tidak pernah ada waktu menganggur. Banyak orang yang membutuhkan tenaga dan keterampilannya. Banyak orang pula yang akhirnya harus mengantre.

Sekarang ia sudah meninggal. Tidak ada regenerasinya. Satu anaknya laki-laki bekerja di salah satu perusahaan yang berlokasi di daerah kami. Jadi keahlian sang ayah tidak terwariskan kepada anak. Artinya, terjadi putus keahlian generasi. Dugaan saya terjadinya karena sang anak dan yang pada umumnya dialami oleh anak-anak muda lainnya  tidak mau bekerja yang "kasar-kasar", apalagi menjadi tukang. Sekalipun (lebih-lebih) tukang kayu memiliki tarif yang mahal.

Sahabat baru saya yang masih muda dalam perbincangan kami mengaku bahwa dirinya sedikit-sedikit membantu pekerjaan ayahnya, menjadi tukang kayu. Pernah ia membantu ayahnya membuat rumah di daerah lain menginap hingga dua minggu. Toh begitu hingga kini ia belum bisa menggantikan ayahnya sebagai tukang kayu yang terampil.

Ia malah belajar menjadi tukang di bidang lain, yaitu koki. Ikut orang menjadi ahli masak. Sekalipun saya melihat ia belum pintar memasak. Dari kegiatannya di warung yang bersebelahan dengan warung kami yang begitu mudah saya lihat, ia masih harus banyak belajar memasak. Masih teramat pelan gerakan memasaknya, yang berbeda dengan orang yang sudah profesional memasak yang saya pun sering menjumpainya di sepanjang tepi jalan saat malam-malam,  yaitu pedagang-pedagang kaki lima.

Saya belum mengetahui apakah kelak ia akan terjun di bidang kuliner? Kalau menerjuni bidang itu tidak menjadi  problem. Sebab, masih terbuka bagi orang membuka usaha kuliner sekalipun kalau dibandingkan dengan profesi tukang kayu jauh berbeda. Usaha kuliner sudah membludak, sementara sebagai tukang kayu sudah sangat jarang. Saya tidak mengadakan penelitian tentang keberadaan tukang kayu. Tetapi, naluri saya mengatakan bahwa profesi tukang kayu semakin hari semakin berkurang karena tidak ada regenerasinya. Sangat berbeda dengan usaha kuliner sebab semakin hari semakin bertambah.

Jadi, berbicara peluang kerja yang tetap dicari orang (saat sekarang dan yang akan datang) adalah salah satunya menjadi tukang kayu. Apalagi tarifnya mahal, tetapi tidak ada biaya promosi. Sebab, tanpa ada promosi saja para konsumen sudah mengantre. Pun tidak perlu mengikuti pendidikan formal untuk mencapai tingkat terampil. Cukup mau belajar dari keahlian sang ayah secara serius, Anda bisa.  Dan selanjutnya siap-siap saja menerima banyak order. Bagaimana?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun