Mohon tunggu...
Muhammad Harpani
Muhammad Harpani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Baca - Tulis - Gambar

Belajar Konsisten, Abaikan Mood

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pahlawan yang Sempat Saya Benci

22 Agustus 2010   12:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Look!

It's a bird!

No!

It's a plane

No!

It's Superman!

Ingin saya ucapkan kalimat legendaris itu untuk kakak saya. Namun, ia tidaklah sehebat superhero layaknya Superman. Ia tidak bisa terbang. Ia tidak bisa mengangkat mobil. Ia hanya seorang laki-laki biasa dan sedikit workholic. Walau demikian, ia tetap yang terhebat dalam hidup saya. Darinya saya belajar tentang mencintai keluarga, tentang integritas, tentang keseriusan kerja, tentang marketing, tentang sikap optimisme dan lainnya. Dan yang pasti, ia menguatkan saya dalam dunia tulis menulis dan kartun!

Benar kata pepatah, bila engkau membenci sesuatu. Maka bencilah secukupnya. Begitu juga sebaliknya. Bila engkau menyukai seseorang maka sukailah sewajarnya. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi hati kita kemudian terhadap 'sesuatu' itu.

Dulu, saya tidak terlalu suka dengannya. Ia termasuk anak yang nakal, keras kepala, suka keluar malam dan yang pasti suka main perintah. Puncak ketidaksukaan saya adalah ketika ia mudik ke kampung, dan ibu lagi sakit. Pikir saya waktu itu, dialah penyebab semuanya. Maag Ibu kambuh, bahkan pada stadium parah. Muntah-muntah, sering limbung dan harus diinfus.

Saat itu, saya benar-benar marah dan kecewa dengannya. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak SD? Maka, saya pendam saja segala kekecewaan. Walau begitu, sesekali usil saya keluar untuk melampiaskan kekecewaan saya itu. Satu hari, saya ambil lumpur dan saya siramkan ke sandal barunya. Dan bisa ditebak, ia marah besar dan memarahi saya. Lengan saya dipagutnya, tapi saya tidak kurang akal, saya ambil sapu ijuk yang tersandar di dinding dan saya sapu ke mukanya. Kontan pegangan tangannya mengendur. Segera saya kabur keluar rumah dan bersorak dalam hati, saya menang!

Memang, saat itu ia tengah kuliah di Jogja. Sedang kami tinggal di kota Sekayu, dulu masih kota kecil atau lebih tepat kalau disebut desa, 120 km Utara kota Palembang. Tidak setiap tahun ia dapat pulang. Karena kondisi Bapak kami yang PNS golongan rendah dengan lima orang anak saat itu, tidak memungkinkan untuknya bisa pulang setiap Lebaran. Seperti anjing dan kucing, itulah gambaran hubungan kakak-adik di antara kami. Bila jauh saling merindukan, namun kalau dekat selalu ribut.

Pandangan saya terhadapnya berubah drastis. Saat ia sesengukan menangis di kamar, di samping Ibu. Saat itu hanya ada saya, Ibu dan kakak saya itu. Saya ikut mendengarkan saja cerita di antara mereka dengan pola pikir seorang bocah.

“Jadi Ibu jualan keripik ubi dan kacang goreng?”, ujarnya dengan mata yang mulai basah.

Ibu menganguk. “Lha, ndak apa-apa Yung. Uang gaji bapak kan, habis untuk biaya kuliah kamu dan kakakmu. Ibu tidak mungkin berhutang lagi di warung hanya untuk bahan-bahan pokok. Sudah banyak tagihan tiap bulan.”, tuturnya lembut.

Kakak saya semakin dalam menunduk dan terbitlah air matanya, menderas.

Ibu memang berjualan es lilin, keripik ubi dan kacang goreng untuk menutupi keperluan sehari-hari. Sejak tahu bahwa Ibunya berjualan jajanan, untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, maka bertambah sedih ia. Ia tersadar, bahwa gaji bapaknya dibagi dua untuk ongkos kuliah Ia dan kakak tertuanya yang sedangberkuliah di Jogja. Ditambah, Bapak berhutang kepada Bank dengan jalan menggadaikan SK PNS-nya. Sehingga gaji tiap bulannya harus dipotong sebelum sampai ke tangan ibu.

Entah mengapa, melihat air matanya yang jatuh setelah thahu kondisi ibu, saya jadi ikut terharu...

Sejak saat itu, saya lihat ia tak pernah lagi meminta lebih uang bulanan. Dan saya dengar, di Joga ia melakoni berbagai pekerjaan dan kesibukan yang bisa mendatangkan penghasilan. Mulai dari ikut narik oplet sampai ia menemukan dunianya di bidang event organizer.

Saat ini, ia sudah menjadi bagian dari perusahaan telekomunikasi CDMA terbesar kedua, sebagai manager pemasaran di Semarang. Dan yang membuat saya bangga adalah ia sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Mulai dari tambahan biaya bulanan keluarga, biaya kuliah adik saya hingga selesai, serta membayar keperluan mendadak lainnya.

Ia orangnya cekatan dalam mencari uang. Bahkan beberapa kali peristiwa bersejarah dalam keluarga, ia menjadi “pahlawan”. Saya ingat betul, pada waktu Bapak hendak operasi katarak, ia yang membackup seluruh biaya operasi dan perawatan. Padahal saya tahu, biayanya mencapai dua juta rupiah. Uang yang sangat besar untuk saya, karena pada saat itu saya baru lulus kuliah dan magang di sebuah LSM dengan honor 400 ribu saja.

Ketika saya tanya, darimana ia mendapat uang sebesar itu dalam waktu singkat? Ia menjawab, “Kamu tahu kan, pas kuyung ditelpon sehari sebelum bapak operasi, itu kuyung lagi di Jakarta. Ada acara gathering dengan pimpinan pusat. Dan kuyung terpilih menjadi salah satu karyawan dengan prestasi terbaik. Hadiahnya yaitu, Rp 2 juta!”.

Dan saya tahu betul, seluruh uang hadiah tersebut ia kirimkan ke Ibu. Tidak ada sisa. Baginya, semakin banyak memberi, apalagi untuk kebutuhan Bapak dan Ibu, ia percaya akan semakin mudah jalan baginya untuk mendapatkan lebih banyak lagi. When you give more, you will get more.

Hari-hari selanjutnya, adalah hari-hari kekaguman saya kepadanya. Waktu untuk 'nakal' sudah usai. Yang ada sekarang adalah bagaimana melengkapi kebahagiaan Bapak dan Ibu.

Suatu waktu, saat saya masih SMA dan ia pulang ke Palembang, ia bercerita. Betapa pada waktu kecil, dirinyalah yang paling sering dipukul oleh bapak. Maklum saat itu Bapak masih darah muda, suka main pukul.

Hanya gara-gara keasyikan main badminton dan lupa menggiring kambing ke kandang hingga Maghrib, ia dihajar habis-habisan dengan raket badminton, hingga raketnya patah-mematah. Terus, pernah juga saat ia mengisengi kakak saya yang nomor tiga, hingga menangis meraung-raung, Bapak kembali memuncak amarahnya. Kali ini gagang sapu yang harus patah dua, setelah menggebuk habis-habisan kaki kakak saya. Dan banyak lagi bentuk “pendidikan” gaya militer yang kakak saya terima.

“Tapi saya tidak dendam sama sekali”, ujarnya. “Kuyung sadar, itulah bentuk pendidikan terbaik untuk kuyung. Dan aku jadi seperti ini juga karena didikan bapak yang keras dan disiplin”.

Saya menganguk.

Sampai saat ini, hukuman fisik yang pernah saya terima dari Bapak cuma jeweran di kuping. Dan itu hanya “formalitas” saja, karena saat itu saya bertengkar dengan anak tetangga. Dan demi menjaga perasaan sang tetangga, kuping saya dijewer pelan. Selebihnya saya tidak pernah sama sekali menerima hukuman fisik, lebih sering berbentuk teguran lisan saya.

Maka, demi mendengar cerita kakak saya itu, saya menyadari betapa kuatnya cinta kakak saya itu kepada Bapak dan Ibu. Cinta yang mampu meredam rasa dendam akibat perlakuan keras dan galak dari Bapak.

Dan kini, saat saya sudah bekerja dan berkeluarga, satu hal yang sering ia sampaikan kepada saya. “Hormati Bapak dan Ibu! Anak perempuan bila sudah menikah, maka ia berkewajiban taat dan patuh kepada suami. Namun, bila anak laki-laki yang menikah, maka ia pulang kepada Ibunya. Camkan itu, Pan!”

Ah, saya berhutang budi padamu Yung Aan...

Terlalu banyak kisah-kisah hebat tentang dirinya, namun beberapa hal yang di ataslah yang mampu mengubah pandangan saya terhadapnya. Dan bagi saya dialah pahlawan yang mempunyai pengaruh paling besar dalam hidup saya. Dialah kakak saya, Ramelan Atmajaya.

Mekaseh Yung!

*) Kuyung = Kakak laki-laki, bahasa Sekayu, Palembang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun