Mohon tunggu...
Abdul Cholik
Abdul Cholik Mohon Tunggu... Blogger -

Kakek dari 5 orang cucu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Fashion

14 Juni 2015   12:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim haji sudah semakin dekat. Saya teringat peristiwa 20 tahun yang lalu.

Di pagi buta, Emak keluar dari kamar mengenakan blus lengan panjang, celana panjang, dan sepatu olahraga. Atasannya dilengkapi dengan jaket dan jilbab. Ini sebuah revolusi besar yang dilakukan oleh Emak dalam dunia fashion. Pagi itu Emak akan memulai perjalanan panjang yaitu ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

Begitu Emak keluar dari rumah para tetangga yang sejak pagi sudah berkumpul di halaman berdecak. “ Masya Allah ayune,” kata Mbak In pemilik warung sayuran depan rumah. Saya yakin mereka juga kaget melihat penampilan Emak.

Wanita berusia lebih dari 70 tahun ini seumur-umur selalu mengenakan pakaian kebaya dan kain jarit.  Sejak bangun pagi hingga berangkat tidur begitulah seragamnya. Pakaian untuk segala medan dan cuaca deh pokoknya.

Bukan hanya Emak yang memakai kebaya, kain jarit, dan stagen. Wanita dewasa di kampung saya, dan kampung lainnya, juga memakai pakaian sejenis. Hanya anak-anak dan para gadis yang memakai rok sebagai pakaian harian.

Jika Emak akan bepergian, misalnya menghadiri undangan pernikahan, kesibukan mulai tampak. Beliau memilih pakaian kebesaran berupa kain jarit dan kebaya yang terbaik. Tak lupa memasang konde, lengkap dengan hair net, dan tusuk konde berbahan emas. Sandal jinjit alias selop high heel dan tas cangklong juga ikut memeriahkan dandanan Emak.

Jaman berubah, musim bertukar. Para wanita di kampung sudah mulai ada yang berani memakai daster. Pakaian yang seharusnya untuk dikenakan di rumah ini juga tampak di jalanan. Naik sepeda motor keliling kampungpun cukup pakai daster.

Melihat perubahan tersebut saya pernah menyarankan agar Emak juga memakai daster jika di rumah. “Mak, kalau di rumah pakai daster saja biar nggak ribet,” kata saya. Jawaban Emak sungguh tak terduga. “Nggak mau. Nanti orang-orang pada bilang, ‘Lhooo, Bu Cip sudah nggak waras’”  Whuik…nggak mungkin lah yaw ada tetangga yang ngomong begitu.

Emak tetap pada pendirian dan kebiasaannya. Di rumah, bertandang ke rumah tetangga, atau belanja ke warung Emak tetap dengan kebaya, kain jarit, stagen, dan rambut berkonde. Aksesoris berupa kerudung dikenakan jika pergi melayat atau menghadiri undangan.

Lalu gaya dan model pakaian wanita bertambah lagi. Busana muslim muncul dan dengan cepat berkembang sampai ke pedesaan. Beberapa wanita di kampung saya juga sudah mulai mengenakan pakaian untuk muslimah ini.

Bagaimana dengan Emak.?  Tampaknya beliau belum tergerak juga. Ketika saya ingin membelikan busana muslim Emak mencegahnya. “Nanti saja, kapan-kapan,” kata Emak. Saya mengalah tak mau memaksanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun