Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Istri Salihah, Mendidik Anak Sepenuh Jiwa

3 Februari 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_394604" align="aligncenter" width="350" caption="ilustrasi : www.fashioncentral.pk"][/caption]

Semua orang sepakat bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam buku Quantum Learning menyatakan, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. DePorter menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa. Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sangat penting untuk mempersiapkan masa depan bangsa dan negara.

Pendidikan dalam keluarga merupakan sarana perombakan yang fundamental, sebab keluarga bisa menyiapkan jiwa manusia dari akar-akarnya. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Menyiapkan Pondasi Pendidikan Anak

Salah satu karakter istri salihah adalah mendidik anak dengan ketulusan jiwa. Para istri salihah menyadari sepenuhnya bahwa proses pendidikan anak bukan dimulai saat anak telah lahir atau anak masih dalam kandungan, namun jauh sebelum itu. Semenjak proses pernikahan, maka telah dimulai babak awal pendidikan anak, dimana seorang lelaki salih menikah dengan seorang perempuan salihah dalam sebuah ikatan suci.

Semua bentuk interaksi dalam kehidupan berumah tangga, merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan anak. Misalnya ketika suami dan istri tengah melakukan hubungan badan, ada etika yang harus dipenuhi. Dimulai dengan doa, dilakukan di tempat yang tertutup, dan dilakukan dengan benar sesuai tuntunan agama. Walaupun hubungan suami istri itu bersifat sangat privat dan tersembunyi, namun tetap menerapkan etika dan tuntunan agama. Dengan cara yang benar itu, jika terjadi kehamilan, diharapkan akan lahir anak yang benar pula.

Pendidikan adalah usaha sadar, terencana dan sistematis untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar manusia secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian positif, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian orang tua harus memiliki kesadaran yang utuh dalam mendidik anaknya agar mereka sudah terkondisikan dalam suasana pendidikan sejak awal.

Pendidikan anak tidak saja dilakukan ketika anak sudah “siap” untuk menerima pendidikan, bahkan harus sudah disiapkan pondasinya jauh sebelum itu. Glenn Doman pernah menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mulai mendidik anaknya untuk membaca.

"Kapan anak  ibu akan lahir?" tanya sang ahli.

"Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang" jawab ibu.

"Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyia-nyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak anda".

Apabila pernyataan Doman tersebut kita perluas, pendidikan anak dimulai bukan saja ketika bayi telah lahir, atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Akan tetapi prosesi pendidikan itu telah dimulai sejak seorang laki-laki memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya, dan ketika seorang wanita memilihkan calon bapak bagi calon anak-anaknya. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan, dan awal mula pendirian laboratorium peradaban.

Dengan demikian pendidikan telah dimulai dari awal: pembentukan pribadi yang bertemu dalam ikatan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan tidak dimulai ketika bayi telah lahir, atau ketika sudah saatnya sekolah. Sejak awal, orang tuanya telah mempersiapkan bekal yang baik bagi calon anak-anak yang diharapkan baik pula.

Parenting Nabi Saw

Anak terlahir bukanlah karena “produksi” manusia. Anak benar-benar karunia Allah, yang menjadi amanah bagi kita untuk mendidiknya dengan baik. Yang harus dilakukan dengan kehadiran anak adalah mensyukurinya, mendidik, menafkahi, mengarahkan dan menemaninya hingga dewasa. Rasulullah saw amat  memperhatikan  masalah pendidikan anak,  sebagaimana  sabda beliau :

"Tidak  ada  pemberian orang tua yang utama  kepada  anaknya kecuali mendidiknya dengan baik" (Riwayat Tirmidzi).

Ada sangat banyak bentuk pendidikan anak yang dicontohkan oleh Nabi Saw. Di antara  bentuk pendidikan yang  paling  utama adalah dengan teladan nyata. Dr. Hamid Abdul Khaliq Hamid mengatakan, "Sudah seharusnya bagimu, hendaknya membimbing  tangan anakmu untuk mengenal Allah. Jadilah engku teladan yang baik di dalam mengajarkan shalat dan melatih berpuasa. Berjalanlah engkau bersama  anak  kecilmu di dalam melatih pelajaran agama melalui dialog yang sederhana, supaya anakmu mengetahui prinsip-prinsip agama. Tanamkanlah  di  dalam  jiwa   anakmu nilai-nilai melalui latihan yang berkesinambungan..."

Nabi Muhammad saw memberikan teladan luar biasa dalam kasih sayang pada anak-anak. Beliau suka mencium anak dan  cucunya, hingga heranlah sahabat  Aqra’, lantaran ia punya 10 orang anak dan tak pernah menciumnya sekalipun.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw mencium Al Hasan bin Ali ra, lalu Al Aqra’ berkomentar, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak; tidak pernah aku mencium seorangpun di antara mereka”. Maka Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak tidak disayangi.”

Nabi Saw pernah mempercepat shalat, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya, ketika aku sedang melakukan shalat (menjadi imam) dan aku bermaksud untuk memanjangkan bacaanya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku segera memperpendek (bacaan) shalatku. karena aku memahami perasaan ibunya (yang menjadi makmum) yang tentu terganggu oleh tangisannya.”

Pada saat yang lain Beliau saw melakukan sujud yang cukup lama. An Nasa’i dan Al Hakim meriwayatkan, ketika Nabi saw shalat mengimami para makmum, tiba-tiba datanglah Husain, dan langsung menunggangi pundak Nabi Saw ketika beliau sujud. hingga beliau memanjangkan sujudnya, sampai-sampai para makmum mengira terjadi sesuatu.

Seusai shalat, mereka bertanya, “Engkau telah memanjangkan sujud wahai Rasulullah, hingga kami mengira telah terjadi sesuatu”. Nabi  Saw menjawab,  “Anakku (cucuku) telah menjadikan aku sebagai tunggangan, maka aku tak suka mengganggu kesenangannya hingga ia puas.”

Nabi Saw sangat menyayangi anak-anak, dan sangat merawat jiwa anak-anak.

Pembiasaan yang Baik bagi Anak

Dalam hal apakah anak dibiasakan? Para ibu harus memberikan pembiasaan yang baik bagi anak-anak. Jika sedari kecil anak sudah mendapatkan pembiasaan yang baik, hal ini  akan sangat menentukan kehidupannya di masa depan. Nabi Saw memerintahkan kepada para orang tua agar memberikan pembiasaan yang baik kepada anak-anak sejak kecil. Misalnya dalam hal ibadah untuk melatih perasaan Ketuhanan dalam jiwanya, dimulai dari masa kecil. Sabda beliau:

“Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Abu Dawud).

Kendati pada umur tujuh tahun mereka belum memiliki kewajiban shalat, namun harus sudah dibiasakan melakukan shalat dengan tertib. Hal ini akan membentuk perasaan Ketuhanan yang kuat, karena selalu beraktivitas yang mengingatkan kepada kebesaran Allah. Selain membiasakan shalat dan ibadah lain, sangat penting bagi anak untuk ditanamkan kesadaran akan adanya pengawasan dan penjagaan Allah pada diri manusia. Iman Al Ghazali menceritakan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tentang dialog antara Sahal bin Abullah At Tustari dan pamannya  Muhammad Ibnu Siwar.

“Ketika aku berusia tiga tahun, aku selalu bangun malam. Aku melihat shalat pamanku, Muhammad Ibnu Siwar. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, apakah engkau tidak ingat kepada Allah yang telah menciptakan kamu ?”

“Bagaimana aku mengingatnya ?”

Pamanku berkata, “Katakan di dalam hatimu ketika kamu berbolak-balik di atas tempat tidurmu, tiga kali, tanpa menggerakkan lidahmu: Allah bersamaku, Allah mengawasiku, Allah menyaksikan aku”.

Dan aku kerjakan itu lalu aku laporkan kepadanya. ”Ucapkan setiap malam tujuh kali “, kata paman.

Aku kerjakan kemudian aku laporkan kepadanya. ”Ucapkan itu setiap malam sebelas kali”. Akupun laksanakan pesan tersebut, maka aku merasakan rasa nyaman dalam kalbuku.

Setelah satu tahun berlalu, pamanku berkata, “Peliharalah apa yang telah aku ajarkan kepadamu, dan tetapkan mengerjakannya hingga kamu masuk kubur. Karena sesungguhnya yang demikian itu bermanfaat untuk kamu di dunia dan di akhirat”. Dalam beberapa tahun, aku terus mengerjakannya, maka aku dapatkan rasa nyaman dalam kesunyianku.

Kemudian pamanku berkata padaku pada suatu hari, ”Wahai Sahal, barangsiapa merasa Allah bersamanya, melihat dan menyaksikannya, apakah ia akan mendurhakai-Nya. Janganlah sekali-kali kamu durhaka.”

Para ibu yang lebih lengket dengan kehidupan anak-anak, harus memberikan pembiasaan yang positif bagi anak, sehingga mereka tumbuh dalam lingkungan dan pembiasaan yang baik sejak dini.

[caption id="attachment_394606" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : www.muslimwriters.org"]

14229256251720559963
14229256251720559963
[/caption]

Berikan Kata-kata Terbaik

Betapa ajaibnya kata-kata. Dari kata-kata, banyak hal bermula. Kata-kata membentuk persepsi dan paradigma. Kata-kata dapat memotivasi atau melemahkan semangat. Kata-kata membentuk atau merusak suasana. Kata-kata dapat menjadi inspirasi. Kata-kata juga tabungan akhirat anda. Maka, berhati-hatilah dengan kata-kata.

Abu Rafi’ meriwayatkan, “ Ketika Fatimah melahirkan putranya, Hasan bin Ali, aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali“ (Riwayat  Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Hasil penelitian Dr. Masaru Emoto yang dimuat dalam buku “The True Power Of Water” menunjukkan, air mengenali kata tidak hanya sebagai sebuah desain sederhana, tetapi air bahkan dapat “memahami” nilai yang terkandung di dalam kata tersebut. Penelitian tentang pengaruh kata-kata terhadap air tersebut memberikan hasil yang menakjubkan. Masaru Emoto berhasil mendapatkan foto kristal air bersama sahabatnya Kazuya Ishibashi, seorang ilmuwan yang ahli dalam mikroskop. Foto kristal air ini didapat dengan cara membekukan air pada suhu -25 derajat celcius dan difoto dengan alat foto berkecepatan tinggi.

Jika kata-kata positif yang diberikan, terbentuklah kristal air heksagonal  yang indah merekah laksana bunga yang sedang mekar. Sebaliknya, jika kata-kata negatif yang diberikan, akan menghasilkan pecahan kristal dengan ukuran yang tidak seimbang. Bentuk kristalnya jelek dan tidak beraturan. Penelitian tersebut menunjukkan, kualitas air dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk, bergantung pada informasi yang diberikan kepadanya. Demikian pula manusia, sangat dipengaruhi oleh informasi yang rutin diterima, karena 70% tubuh manusia dewasa adalah air.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, ”Rahasia kenapa ketika seorang bayi baru lahir harus dikumandangkan adzan pada telinganya adalah –wallahu a’lam- agar suara yang pertama kali masuk ke telinga si anak adalah kalimat-kalimat yang mengandung makna akan kebesaran dan keagungan Allah swt. Dan dua kalimat syahadat yang digunakan sebagai kunci pintu masuk Islam.

Maka, pikirkan masak-masak, kata-kata apa yang akan anda sampaikan kepada anak-anak. Ingat, kata-kata anda akan membekas dalam ingatan, dan membentuk kepribadian mereka.

Insyaallah bersambung.

Bahan Bacaan :

Bobbi DePorter & Mike Hernacki, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Penerbit : Kaifa, Jakarta, 2008

Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, Penerbit : Era Intermedia, Solo, 1997.

Jhon Gotham, PhD & Joan De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Masaru Emoto, The True Power of Water, Hikmah Air dalam Olah Jiwa, Penerbit : MQ Publishing, Jakarta, 2006

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun