Setiap bulan Ramadan, semangat masyarakat muslim di Indonesia untuk beribadah ke masjid selalu meningkat. Dibanding bulan-bulan lainnya, saat Ramadan masjid lebih ramai dan meriah oleh jamaah.
Hal ini menunjukkan keterikatan masyakat muslim terhadap masjid. Tentu saja dibarengi dengan tingkat kepercayaan terhadap elemen utama yang ada di dalam masjid, seperti Ketua Takmir, imam shalat, khatib serta para pendakwah lainnya. Imam, khatib, dan takmir adalah pihak yang dipercaya oleh jamaah masjid tersebut.
Dalam dunia konseling, keberadaan mereka menjadi sangat penting. Karena sudah ada modal awal berupa keterikatan dan kepercayaan. Masyakat yang menghadapi persoalan dalam kehidupan, bisa mengakses pihak-pihak tersebut secara mudah. Selain secara lokasi mereka berdekatan, secara kepercayaan sudah dirasakan.
Imam dan Konseling
Saya cukup surprise menemukan sub bahasan "Imam dan Konseling" dalam buku karya Dr. G. Hussein Rassool berjudul "Konseling Islami, Sebuah Pengantar Kepada Teori dan Praktik" (2019). Sebuah pembahasan yang tentu saja tidak dijumpai dalam buku-buku konseling Barat pada umumnya.
Hussein Rassool adalah Profesor Psikologi Islam dan Konsultan pada Riphah Institute of Clinical and Professional Psychology atau Centre for Islamic Psychology, Riphah International University, Pakistan. Beliau juga direktur pada Departemen Psikologi Islam, Psikoterapi dan Konseling di Al-Balagh Academy. Juga Ketua Al-Balkhi Research Institute di Inggris. Beliau mengajar di berbagai kampus, termasuk Open University (Islamic Online University).
Menurut Rassool, istilah imam tidak terbatas pada imam shalat saja, namun pemimpin spiritual Islam. Rassool menegaskan, seorang Imam dapat ditugaskan untuk mengatasi masalah pribadi dan agama. Para Imam diminta untuk mengatasi masalah konseling di komunitas  mereka yang menjangkau di luar aspek agama dan spiritual, termasuk masalah keluarga, kebutuhan sosial dan gejala kejiwaan (Ali et. al., 2005).
Tidak tanggung-tanggung, Rassool menyatakan,"Di zaman modern, para Imam memiliki peran yang luas dan berada di garis depan sebagai penyedia layanan kesehatan mental dan konseling". Meskipun para Imam hanya memiliki sedikit pelatihan formal dalam konseling, mereka bisa diminta membantu jamaah yang datang dengan masalah kesehatan mental dan layanan sosial (Ali et.al., 2005) dan menyelesaikan masalah kerasukan jin dan yang semacamnya.
Namun karena umumnya imam dimasjid tidak secara khusus dibekali dengan ilmu konseling, terkadang kurang tepat dalam memberikan penilaian. "Penilaian yang tidak memadai dan perawatan yang tidak tepat, sering kali merupakan hasil dari pencarian bantuan dari para pemimpin agama saja" (Budman, et al., 1992).
Harusnya, para pemuka agama bisa merujuk jamaah kepada pihak expert --seperti psikolog, psikiater, atau konselor profesional; jika menemukan permasalahan yang di luar kemampuan dan jangkauan ilmunya. Hendaknya pihak masjid memiliki link dengan psikolog, psikiater, bahkan pengacara atau praktisi hukum.