Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Bukan Pemaksaan

9 Agustus 2022   15:08 Diperbarui: 9 Agustus 2022   15:21 1908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan Jogjakarta bergulir Juli 2022 lalu, hingga hari ini masih terus diperbincangkan publik. Usaha-usaha mediasi dari Pemerintah Provinsi, DPRD Provinsi, serta berbagai kalangan masyarakat masih terus berlangsung.

Tentu saja harapannya semua akan berakhir indah dan damai. Tidak menjadi bahan pelintiran sana-sini.

Salah satu peristiwa yang menjadi sorotan publik adalah tindakan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru. Berbekal aduan orangtua, rekaman CCTV, tiba-tiba tiga guru dan kepala sekolah seolah-oleh sudah menjadi terdakwa. Wajar jika beberapa kalangan pendidik menyayangkan tindakan ini.

"Setelah guru diberi sanksi, citra pendidikan menjadi buruk. Guru takut melahirkan hal-hal yang sifatnya baru. Ada trauma dialami para pendidik. Pertanyaannya setelah adanya sanksi itu, apakah si anak menjadi lebih baik?" ungkap Heru Wahyu Kismoyo, seorang dosen Filsafat Mataram di Universitas Widya Mataram.

Konon, kasus dugaan pemaksaan jilbab ini menimbulkan trauma pada siswi. Ini belum ada pernyataan ahli --misalnya psikiater atau psikolog, yang menegakkan pemeriksaan kepada siswi yang bersangkutan. Bahwa trauma benar-benar muncul karena paksaan berjilbab.

Ternyata Heru Wahyu Kismoyo mengungkapkan peluang terjadinya trauma pada guru. Apakah ini akan diabaikan begitu saja?

Saya membayangkan kejadian-kejadian yang mungkin saja muncul di masa yang akan datang. Guru-guru dan kepala sekolah ketakutan dituduh intoleransi. Pengajaran agama menjadi momok yang ditakuti. Meluas dan melebar, orangtua di rumah tak berani menyuruh anaknya menjalankan ajaran agama.

Saya membayangkan kejadian-kejadian seperti ini. Semoga tidak terjadi.

Misalnya ada guru sekolah negeri mengajari anak untuk menjalankan shalat. Anak-anak ini beragama Islam. Lalu di kelas, guru melatih gerakan shalat. Ada bukti di CCTV bahwa guru mengajarkan shalat.

Andai ada seorang anak tidak mau diajari shalat. Sesampai di rumah ia mengadu kepada orangtuanya bahwa ia dipaksa shalat. Orangtua marah dan menulis surat, berisi protes kepada sekolah yang memaksa murid untuk shalat. Ini dituduh tindakan intoleransi. Lalu kepala sekolah dan guru dinonaktifkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun