Dalam perspektif hukum Islam, seorang lelaki (suami) wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Masyarakat Indonesia mengenal dua istilah, yaitu nafkah lahir dan nafkah batin. Namun dalam pembahasan fikih tentang nafkah, hanya dibatasi pada konteks nafkah lahiriyah saja. Para ulama tidak membahas bab 'nafkah batin' dalam satu kesatuan dengan nafkah lahir.
Ustadzah Maharati Marfuah, Lc. Dalam ebook Hukum Fiqih Seputar Nafkah (2020) menjelaskan, menurut syariat, kewajiban nafkah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungan baik berupa makanan, lauk, pakaian dan tempat tinggal dan turunannya, sesuai dengan kebiasaan / tradisi / 'urf. Penekanan "sesuai dengan kebiasaan / tradisi" adalah dari Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab beliau Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh.
Manshur bin Yunus al-Buhuti (w. 1051 H) dalam kitab Kasyaf Al-Qina' menyebutkan, "Nafkah menurut syariat adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungan baik berupa makanan, lauk, pakaian dan tempat tinggal dan turunannya". Hal ini menunjukkan, tidak cukup hanya rumah 'kosongan' tanpa isi apa-apa, namun harus ada perabot rumah tangga sesuai kebutuhan dan kemampuan.
Bahkan beberapa ulama menyatakan, termasuk dalam menyediakan pembantu / asisten rumah tangga. Biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga dan juga pembantu, masuk kategori kewajiban nafkah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman bin Muhammad 'Awadh al-Jaziri (w. 1360 H) dalam kitab Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, serta Abdul Wahab Khalaf (w. 1375 H) dalam kitab Ahkam al-Ahwal asSyakhsiyyah fi as-Syariah al-Islamiyyah.
Menafkahi Anak, Sampai Kapan?
Dalam kehidupan keluarga, secara umum kita mengenal praktik orang tua memberi kecukupan nafkah kepada anak-anak mereka. Sejak anak-anak tersebut masih dalam kandungan, orangtua sudah memberikan kecukupan nafkah --sesuai kemampuan masing-masing.
Perintah pemberian nafkah dari orang tua kepada anak, dalilnya adalah ijma' para ulama (Maharati Marfuah, 2020). Ibnul Mundzir mengatakan, "Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anakanaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta".
Di antara dalilnya adalah hadits sahih riwayat Ibnu Hibban. Dari Abi Hurairah ra, ia menceritakan bahwa datang seorang laki-laki kepada Nabi seraya bertanya, "Wahai Rasulullah saya mempunyai dinar". Rasul saw mengatakan, "Gunakan untuk nafkan dirimu". Ia mengatakan, "Saya mempunyai yang lain". Nabi saw mengatakan, "Gunakan untuk nafkah anakmu".
Ia mengatakan, "Saya mempunyai yang lain". Nabi saw mengatakan, "Gunakan untuk nafkah keluargamu". Ia mengatakan, "Saya mempunyai yang lain". Nabi saw mengatakan, "Gunakan untuk nafkah pembantumu". Ia mengatakan, "Saya mempunyai yang lain". Nabi saw mengatakan, "Engkau lebih mengetahui" (HR. Ibnu Hibban).
Ustadzah Maharati Marfuah, Lc. menjelaskan, ada dua batasan terkait kewajiban nafkah dari orang tua kepada anak. Pertama, batasan usia --apakah anak sudah baligh atau belum. Kedua, batasan kepemilikan harta --apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta, sehingga masih bergantung kepada orang lain.