Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Menghindari Stres dalam Kehidupan Pernikahan

7 September 2021   19:07 Diperbarui: 8 September 2021   20:52 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"People get very surprised when they hear that marital stress is actually worse for your health than workplace stress" --Tara Parker-Pope, For Better: The Science of a Good Marriage.

Ilmu kesehatan jiwa menemukan bahwa stres yang muncul dalam kehidupan rumah tangga ternyata memberikan pengaruh yang lebih buruk untuk kesehatan dibandingkan dengan stres di lingkungan pekerjaan. Demikian diungkapkan Tara Parker-Pope, pengarang buku "For Better: The Science of a Good Marriage".

Lebih lanjut Parker-Pope menyatakan, "Banyak pasangan yang hanya menilai seberapa sering (kuantitas) mereka bertengkar atau berargumentasi, misalnya 'kita lebih sering bertengkar belakangan ini' atau 'kita tidak banyak bertengkar akhir-akhir ini.' Sebenarnya frekuensi pertengkaran tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kualitas pertengkaran tersebut".

Tentang Cara Bertengkar

"Marital stress is so pernicious because it's chronic, long-term, and you can't get away from it... You're having these problems day in and day out year after year, decade after decade" --Debra Umberson, University of Texas.

Sebuah studi dari Ohio State University menunjukkan betapa berbahayanya secara fisik apabila pasangan berdebat dengan cara yang salah. Penelitian tersebut meneliti 37 pasangan menikah di sebuah laboratorium.

Setiap pasangan direkam saat melakukan percakapan. Para peneliti menilai kemampuan komunikasi setiap pasangan, serta mencatat pasangan yang memiliki gaya komunikasi yang menyusahkan atau bermusuhan.

Setelah 12 hari, para peneliti memperhatikan bahwa lepuh pada fisik lebih cepat sembuh pada pasangan yang memiliki gaya komunikasi positif. Lepuh pada fisik mengalamai kesembuhan paling lambat pada pasangan dengan gaya komunikasi negatif.

Mengapa luka fisik bisa sembuh lebih cepat pada pasangan yang mampu berkomunikasi dengan baik? Para peneliti di Ohio State University menduga hal itu ada hubungannya dengan hormon oksitosin.

"Oksitosin adalah hormon pelindung," ungkap Janice Kiecolt-Glaser, penulis utama dalam studi tersebut. Janice mencatat bahwa pasangan yang lebih baik dalam komunikasi, dan luka fisiknya paling cepat sembuh ternyata memiliki tingkat oksitosin tertinggi dalam darah mereka.

"Overall, couples with more marital stress have worse immune function and higher blood pressure and heart rates, according to Debra Umberson, a professor of sociology at the University of Texas, who studies couples and stress" --Elizabeth Cohen, 2010.

Hal ini memperkuat studi yang diungkap Tara Parker-Pope. "Orang-orang menjadi sangat terkejut ketika mengetahui bahwa stres perkawinan lebih buruk bagi kesehatan Anda dibandingkan stres di tempat kerja," ujar Parker-Pope.

Membahayakan Kesehatan

Studi lain menemukan, pasangan dengan lebih banyak stres perkawinan memiliki fungsi kekebalan yang lebih buruk dan tekanan darah dan detak jantung yang lebih tinggi. Demikian diungkapkan oleh Debra Umberson, profesor sosiologi di University of Texas, yang mempelajari pasangan dan stres.

"Stres dalam pernikahan sangat merusak karena kronis, jangka panjang, dan Anda tidak dapat menghindarinya," ujar Umberson. "Anda mengalami masalah ini hari demi hari, tahun demi tahun, dekade demi dekade," lanjutnya.

Umberson menambahkan, penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami lebih banyak efek fisik dari pernikahan yang buruk dibanding laki-laki. Bisa jadi, hal ini terkait dengan sifat umum perempuan yang banyak menggunakan potensi perasaan dibandingkan logika dalam berinteraksi dengan suami.

Maka hendaklah suami dan istri saling menjaga dan saling melindungi. Saling mencintai dan saling menyayangi. Saling menghargai dan saling menghormati. Jangan saling melukai, jangan saling menyakiti, jangan saling menzalimi.

Ciptakan suasana pernikahan yang membahagiakan. Suami dan istri harus selalu berkolaborasi secara tepat untuk menghasilkan keharmonisan, ketenangan dan kebahagiaan. Ini yang sering disebut sebagai sakinah, mawadah warahmah. Jangan ada stres di antara kita.

Bahan Bacaan

Elizabeth Cohen, Is Your Marriage Making You Sick? 10 Juni 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun