Perhatikanlah penjelasan Nabi saw di atas. Tampak jelas beliau memberikan gambaran ketakwaan yang utuh, bahwa takut dan takwa kepada Allah bisa diraih dengan menikah. Beliau menampik kesimpulan dan anggapan beberapa sahabat yang mengira bahwa untuk mencapai derajat ketakwaan harus menempuh jalan yang fatal, dengan berpuasa tanpa berbuka, shalat malam terus tanpa istirahat, juga tidak menikah.
Alqamah bin Qais menceritakan bahwa suatu ketika ia  tengah berjalan bersama Abdullah bin Mas'ud di Mina. Di tengah jalan ia bertemu dengan Utsman, kemudian berbincang-bincang.
Utsman berkata kepada Abdullah bin Mas'ud, "Wahai Abu Abdurrahman, tidak maukah engkau kunikahkan dengan perempuan muda agar dapat mengingatkan masa mudamu yang telah lewat?" Abdullah menjawab, "Jika kau berkata begitu, sesungguhnya Rasulullah saw sendiri pernah bersabda :
"Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu di antara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa tidak mampu hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan" Â (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i).
Nabi saw juga pernah bertanya kepada 'Ukaf bin Wida'ah Al-Hilali, "Apakah engkau telah beristri wahai 'Ukaf?" Ia menjawab, "Belum".
Nabi saw bersabda, "Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan ?" Jawabnya, "Tidak". Sabda beliau, "Bukankah engkau sehat lagi berkemampuan?" Jawab 'Ukaf, "Ya, alhamdulillah".
Maka beliau saw bersabda, "Orang yang paling durhaka di antara kalian ialah yang membujang, dan orang mati yang paling hina di antara kamu ialah kematian bujangan. Sungguh celaka kamu wahai 'Ukaf. Oleh karena itu menikahlah!" (HR. Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar).
Nabi saw juga bersabda, "Barangsiapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah kemudian dia tidak menikah maka dia bukan termasuk umatku" (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Keseluruhan pengarahan ini semakin memperkuat argumen bahwa pada asalnya semangat ajaran agama Islam adalah untuk menikah dan menikahkan. Bukan semangat untuk memisahkan atau menceraikan.
Sebisa Mungkin Pernikahan Harus Dipertahankan
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah boleh menceraikan istri karena kedua orang tua menyuruh untuk menceraikannya?" Imam Ahmad menjawab, "Jangan kamu talak".
Orang tersebut bertanya lagi, "Tetapi bukankah Umar bin Khathab pernah menyuruh anak menceraikan istrinya?" Imam Ahmad menjawab, "Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan Umar, karena Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu" (Masa'il min Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah).