Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Darah Tinggi Bukan karena Daging Kambing, Melainkan karena Sistem Belajar Daring

31 Juli 2020   17:44 Diperbarui: 1 Agustus 2020   05:57 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua membantu anaknya belajar di masa school from home (psychiatryadvisor.com)

Usai penyembelihan hewan kurban pagi tadi, marak beredar broadcast di berbagai grup WhatsApp tentang mitos daging kambing. Selama ini banyak masyarakat meyakini bahwa daging kambing adalah pemicu darah tinggi, ternyata dinyatakan tidak benar oleh ahli nutrisi.

Ardy Brian Lizuardy, seorang ahli nutrisi di Wageningen University, sebagaimana dikutip CNN Indonesia pada 31 Juli 2020, menyatakan bahwa "daging kambing picu darah tinggi hanya mitos".

Selanjutnya Ardy memaparkan bahwa dalam tiga ons daging kambing memiliki total lemak 2,6 gram. Ini paling kecil dibandingkan dengan tiga ons daging sapi yang mengandung 7,9 gram lemak, dan tiga ons daging ayam yang mengandung 6,3 gram lemak.

Dari segi kalori, tiga ons daging kambing mengandung 122 kalori. Ini lebih kecil dibandingkan dengan tiga ons daging daging sapi yang mengandung 179 kalori, dan tiga ons daging ayam yang mengandung 162 kalori.

Dari segi kolesterol, tiga ons daging kambing mengandung 63,8 miligram kolesterol. Sementara tiga ons daging ayam mengandung 76 miligram kolesterol. Dari berbagai macam perbandingan tersebut, disimpulkan bahwa daging kambing tidak memiliki potensi untuk menyebabkan darah tinggi.

Sistem Belajar Daring, Potesial Memicu Darah Tinggi
Ternyata yang lebih potensial memicu darah tinggi adalah sistem belajar dari rumah secara daring. Sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), banyak siswa mengalami tekanan secara psikologis di masa pandemi ini.

KPAI menengarai, banyak siswa yang mengalami tekanan psikologis hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) daring di masa pandemi Covid-19. Siswa yang mengalami tekanan psikologis ini, mayoritas karena tidak bisa mengakses pembelajaran daring.

Bukan hanya siswa yang mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis juga banyak menghinggapi orangtua yang harus mendampingi beberapa anak sekaligus di rumah di masa pandemi ini. Sangat banyak kendala, bukan hanya teknis terkait waktu atau paket data, namun sangat kompleks persoalannya.

Sebagaimana yang terjadi pada Bu Dini, seorang ibu rumah tangga, yang mengaku cukup stres karena anaknya, Fifah, terlalu santai dalam mengerjakan tugas. Sementara gurunya sudah mengumumkan jenis tugas yang harus dikerjakan di rumah. Dampaknya, Dini harus terus menerus mendampingi dan berasa kembali sekolah.

"Fifah kelas satu naik kelas dua. Tapi kata dia 'enak diajari sama ibu guru soalnya kalau sama mamah marah-marah, mulutnya galak'. Ya mau gimana lagi, berasa darah tinggi. Apalagi mamahnya juga jadi ikutan sekolah lagi padahal yang sekolahnya malah acuh enggak acuh," ungkap Bu Dini.

Tentu saja Bu Dini tidak sendirian. Sangat banyak ibu-ibu lain yang merasakan tekanan akibat pembelajaran daring ini. Hidup terkarantina saja, sudah membuat tidak nyaman. Apalagi ketika harus mendampingi anak-anak mengikuti PJJ. Tentu menjadi semakin berat bebannya.

Seorang netizen tampak telah benar-benar terkena darah tinggi dan kehilangan kendali, sehingga menulis tweet terbuka. Kaldera News mengutip ungkapan kemarahan seorang ibu atas suasana pembelajaran PJJ tersebut.

"Titip tolong sampaikan ke guru yang bersangkutan. Saya sudah mau banting laptop saya ini. Lama-lama saya mintya biaya terapi psikiater ke sekolah. Kalau saya masih dibikin susah, saya ga mau urusin semua tugas-tugas sekolah. Yang sekolah anak saya, koq yang repot saya," tulisnya.

Ungkapan tersebut mungkin saja mewakili banyak orangtua lainnya. Secara ekonomi, tengah terpuruk. Secara sosial, sangat terbatas ruang geraknya. Ketidaknyamanan ini terjadi dengan bertumpuk-tumpuk. Peluang terjadinya darah tinggi sangatlah tinggi jika tidak ada solusi.

Bagaimana ini, Pak Menteri?

Sumber Berita
kalderanews.com
medcom.id
ayobandung.com
cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun