Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Takari, Nama Saya Diambil dari Pidato Bung Karno

11 Desember 2019   07:08 Diperbarui: 11 Desember 2019   17:59 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: hariansejarah.id

Di antara yang sangat monumental dari Presiden pertama Republik ini, adalah pidato yang berisi dan menggerakkan jiwa revolusi. Setiap pidato didengarkan dan diresapi oleh rakyat Indonesia.

Setiap pidato bahkan ditunggu-tunggu, dan menjadi penyemangat perjuangan dari tahun ke tahun yang sangat berat pada waktu itu. Bung Karno telah berhasil menjawab berbagai dinamika dan dialektika perjuangan mengisi kemerdekaan, melalui pidato yang menggelora.

Berikut saya cuplikkan beberapa poin pidato Bung Karno dari tahun ke tahun, untuk menjelaskan apa arti nama saya. Huwehehehe.... sekedar menjelaskan arti nama, harus mengurutkan pidato Bung Karno? Soalnya saya capek kalau harus menjawab terus pertanyaan orang, "Apa arti nama saya".

Nah, biar utuh dalam memahami, tidak sekedar mengetahui singkatannya, maka kisahnya harus diurutkan. Mari kita simak poin penting pidato Bung Karno dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1945, Bung Karno menyatakan, "Sekarang tibalah saatnya kita mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya Bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya."

Tahun 1946, Bung Karno menyampaikan, "Sekali merdeka, tetap merdeka. Kita cinta damai, tetapi kita lebih lagi cinta kemerdekaan".

Tahun 1947, "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Kita tidak mau dimakan, dus kita melawan!" 

Tahun 1948, "Seluruh Nusantara berjiwa Republik". Tahun 1949, "Tetaplah bersemangat Elang Rajawali. Kita belum hidup dalam sinar bulan juga purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat, Elang -- Rajawali".

Tahun 1950, "Dari Sabang Sampai Merauke". Tahun 1951, "Capailah tata-tentrem kerta-raharja". Tahun 1952, "Harapan dan Kenyataan. Kembali kepada jiwa Proklamasi, kembali kepada sari-intinya yang sejati yaitu: jiwa merdeka Nasional, jiwa ikhlas, jiwa persatuan, jiwa pembangunan".

Tahun 1953, "Jadilah alat sejarah". Tahun 1954, "Berirama dengan Kodrat". Tahun 1955, "Tetap terbanglah Rajawali".

Tahun 1956, "Berilah isi kepada hidupmu". Tahun 1957, "Tahun-tahun Ketentuan". Tahun 1958, "Tahun Tantangan". Tahun 1959, "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Tahun 1960, "Laksana Malaikat Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita (Jarek)".

Tahun 1961, "Revolusi -- Sosialisme Indonesia -- Pimpinan Nasional (Resopim)". Tahun 1962, "Tahun Kemenangan (Takem)".

Tahun 1963, "Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Tiada revolusi kalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus-menerus dan kalau ia tidak merupakan satu disiplin yang hidup, bahwa diperlukan puluhan ribu kader di segala lapangan.

Tahun 1964, "Tahun Vivere Pericoloco (Tavip)". Vivere pericoloso, adalah sebuah frasa bahasa Italia (dari kata vivere, "hidup", dan pericoloso, "berbahaya") yang berarti hidup penuh bahaya.

Tahun 1965, "Capailah bintang-bintang di langit. Tahun Berdikari (Takari)". Nah, ini sudah sampai nama saya. Takari adalah nama tahun yang dicanangkan oleh Bung Karno di tahun 1965, yaitu Tahun Berdikari.

Yang dimaksud dengan berdikari adalah "berdiri di atas kaki sendiri", alias merdeka, berdaulat dan mandiri. Soekarno menjelaskan tiga prinsip berdikari, yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Ketiga prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi.

Demikian pula sebaiknya. Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Pada aspek berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat diboikotnya film-film Barat ketika itu, juga pemberantasan musik The Beatles, literatur picisan, serta budaya dansa-dansi.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreativitasnya dikembangkan.

Tahun 1966, "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). Abraham Lincoln, berkata: "one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah", tetapi saya tambah : "Never leave history". Peganglah teguh sejarahmu, never leave your own history!

Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi dari pada hasil semua perjuangan kita di masa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap".

Tahun 1966, Bung Karno juga menyampaikan pidato Nawaksara. Ini merupakan tahun terakhir kekuasaannya, sebelum akhirnya ia dilengserkan pada 1967 dan digantikan oleh Presiden Soeharto.

Takari Bersaudara
Demikian bersejarah dan melegenda pidato Bung Karno, sampai diingat dan menjadi nama maupun istilah yang tetap digunakan sampai sekarang. Istilah "dari Sabang sampai Merauke", itulah "jasmerah" sangat dikenal dan tetap digunakan sampai sekarang. Demikian pula beberapa istilah yang dijadikan sebagai nama orang.

Setelah mengetahui rangkaian pidato Bung Karno tersebut, maka anda akan bisa menyimpulkan nama-nama orang (generasi jadul) berdasarkan tahun kelahirannya. Jika ada perempuan bernama Gesuri, maka ia lahir di tahun 1963, dari orangtua yang mengagumi Bung Karno.

Jika ada orang bernama Tavip, berarti ia lahir tahun 1964, dari orangtua yang mengagumi Bung Karno. Jika ada orang bernama Takari, berarti ia lahir tahun 1965, dari orangtua yang mengagumi Bung Karno. Jika ada orang bernama Nawaksara, berarti ia lahir tahun 1966, dari orangtua yang mengagumi Bung Karno.

Saya lahir bulan Desember tahun 1965. Ayah saya pengagum Bung Karno. Ayah memasang gambar Bung Karno dalam ukuran sangat besar di rumahnya. Ayah menyimpan dua jilid buku Di Bawah Bendera Revolusi, berisi pidato Bung Karno. Ayah menyimpan beberapa kaset berisi rekaman pidato Bung Karno. Saya ikut menyimak dan mendengarkan saat masih kecil.

Setelah saya kuliah di UGM, barulah saya bertemu orang-orang lain bernama Takari. Kami sama-sama lahir di tahun 1965, maka ketika kuliah bertemu dalam satu angkatan yang sama.

Tidak banyak orang bernama Takari, baik laki-laki maupun perempuan. Jika dibuat organisasi "Takari Bersaudara", sepertinya hanya beberapa orang yang akan bergabung. Tidak seperti "Bambang Bersaudara", atau "Joko Bersaudara", atau "Asep Bersaudara" yang jumlahnya mencapai ratusan ribu.

Selain Takariawan, anggota Gank Takari yang masih saya ingat, ada Takariyanto, teman semasa kuliah di UGM dulu, beliau Fakultas Filsafat. Ada juga ibu Takariyanti, istri dari teman belajar saya di Lemhannas RI, pak Turmarhaban Rajaguguk.

Selain itu, ada Takariyadi dan Takariwati. Tapi ini semua tidak ada hubungannya dengan Takari, merk makanan ikan hias yaaa. Sekali lagi, Takari adalah nama tahun yang dicanangkan oleh Bung Karno di tahun 1965, untuk menyatakan Indonesia harus mandiri di bidang politik, ekonomi dan budaya.

Memaknai Nama
Demikianlah kisah di balik nama Takariawan yang sering ditanyakan ---bahkan dibully--- orang. Saya tidak mengubah nama pemberian orangtua, saya terima dan saya gunakan apa adanya.

Saya tahu sebagian orang malu dan tidak nyaman dengan nama pemberian orangtua yang tidak marketable, lalu diganti dengan nama-nama panggung. Saya PD saja dengan nama ini, Cahyadi Takariawan. Itulah nama diri saya, sejak lahir sampai mati nanti.

Kata "cahyadi" berasal dari bahasa Jawa, cahyo yang berarti cahaya, dan adi yang bermakna indah atau bagus. Cahyadi bermakna, cahaya yang indah atau cahaya yang bagus. Diharapkan, saya bisa memberikan cahaya yang indah kepada orang lain. Sebuah pengharapan yang bagus.

Adapun Takariawan, sudah saya jelaskan panjang lebar di atas. Takari itu kemandirian, kemerdekaan, tidak terjajah oleh kolonialisme. Wan, menunjukkan bahwa saya laki-laki tulen.

Begitulah kisah di balik nama Cahyadi Takariawan. Maturnuwun berkenan membaca. Salam Kompasiana.

Bahan Bacaan

  • Bung Karno : Dari Proklamasi Sampai Gesuri
  • Bung Karno : Di Bawah Bendera Revolusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun