Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar dari Ibrahim AS, Janganlah Menjadi "Toxic Parent"

11 Agustus 2019   11:08 Diperbarui: 25 Juni 2021   08:46 7375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi toxic parent. (sumber: parent24.com)

Tidak gampang menjadi orangtua, apalagi di zaman sekarang. Benar-benar tak mudah menjadi ayah, dan tak mudah pula menjadi ibu. Kita semua harus terus menerus belajar, mengevaluasi dan membenahi diri, secara kontinyu dan berkesinambungan. 

Menjadi Wonderful Parent --orangtua yang keren--- memerlukan proses, pengorbanan dan juga perjuangan. Alih-alih menjadi wonderful parent, jika tidak bersedia menjalani prosesnya, khawatir justru menjadi 'toxic parent".

Adakah orangtua yang beracun alias toxic parent? Sangat banyak, sebagaimana studi yang dipublikasikan oleh Susan Forward dalam buku Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life. Dalam buku itu, Forward menyampaikan pertanyaan penting, "Apakah anda membuat anak merasa bahwa apapun yang ia lakukan menjadi tidak berharga?"

Susan menyebut toxic parents sebagai sosok orangtua yang perfeksionis dan ambisius, Mereka terkungkung dalam ilusi kesempurnaan, membayangkan anaknya memiliki kehebatan seperti harapannya. 

Toxic parent cenderung memikirkan kepentingannya sendiri, maka mereka menuntut anak untuk memenuhi target yang ditetapkan demi gengsi dan kepuasan pribadi. 

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim, Api Tak Dapat Membakar Tubuh Penghancur Berhala

Mereka juga tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh berkembang menjadi dirinya sendiri. Sepanjang proses tumbuh kembang anak, penuh dengan kekerasan mental dan fisik yang dilakukan oleh orangtua.

Seperti apa orangtua yang menjadi racun bagi anak? Bagaimana anak sampai merasa bahwa semua yang dilakukannya tidak pernah berharga di mata orangtua? Berikut beberapa racun yang ditaburkan orangtua dalam kehidupan anak di sepanjang usianya.

  • Selalu memarahi anak

Mengapa anak merasa tidak pernah dihargai? Karena semua tindakannya tidak mendapatkan apresiasi positif dari orangtua, bahkan sebaliknya, anak justru sering mendapatkan kemarahan orangtua. Inilah racun yang ditaburkan orangtua, sampai anak kehilangan rasa nyaman dan kepercayaan, karena selalu mendapat kemarahan.

Apakah orangtua seperti ini membenci anaknya? Sesungguhnya, mereka memarahi anak justru karena cinta kepada anak. Mereka ingin anaknya sempurna, mereka ingin anaknya tak melakukan kesalahan, maka begitu ada yang kurang, langsung disambut dengan kemarahan.

  • Tidak melatih anak membuat keputusan

Orangtua yang otoriter selalu memutuskan segala sesuatu untuk anak. Sejak dari sekolah dimana, mengambil jurusan apa, ikut kegiatan apa, berteman dengan siapa, semua diatur dan diputuskan oleh orangtua. 

Anak tidak memiliki pilihan, bahkan terkait menu makanan. Pola seperti ini membuat anak tidak bisa mengambil keputusan. Mereka menjadi lemah dan bergantung kepada orangtua. Inilah racun yang membahayakan anak, meskipun orangtua melakukan itu semua atas nama cinta.

  • Menginterogasi anak

Banyak orangtua sangat ingin anaknya terbuka kepada dirinya, akan tetapi dengan cara interogasi dan investigasi yang membuat anak merasa tidak nyaman. 

Seakan anak tidak memiliki ruang privasi, tak ada yang boleh disembunyikan, semua harus diceritakan kepada orangtua. Anak merasa tertekan dan tidak nyaman, jika diperlakukan dengan model interogasi dan investigasi. Seakan anak tengah berhadapan dengan pemeriksaan polisi atas kasus yang sedang dihadapi.

  • Membagi masalah pribadi kepada anak

Sebagian orangtua bersikap 'ember' kepada semua orang, termasuk kepada anaknya sendiri. Mereka tidak bisa memilahkan mana yang patut disampaikan kepada anak dan mana yang tidak patut disampaikan kepada anak. Ketika sedang konflik dengan pasangan, seorang istri curhat kepada anaknya. 

Ketika sedang ada masalah keuangan yang pelik, seorang ayah curhat kepada anaknya yang masih kecil. Anak-anak menjadi terpapar masalah orang dewasa, yang belum mampu mereka tanggung pada logika umurnya.

  • Merendahkan rasa percaya diri anak

Ada banyak orangtua yang melakukan bullying terhadap anaknya sendiri. Jadi, kasus bullying bukan hanya terjadi di sekolah, bukan hanya terjadi di lingkungan masyarakat, bukan hanya terjadi di medsos, bahkan terjadi di rumah, dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anak mereka sendiri. 

Baca juga: Idul Adha 1441 H, Momentum Meneladani Ketahanan Keluarga Nabi Ibrahim AS

Misalnya, orangtua yang mengejek serta menghina anak karena nilai raportnya minim. Ungkapan "Bodoh kamu" dan yang semcamnya, adalah kekerasan psikologis terhadap anak yang menjatuhkan rasa percaya diri mereka.

Itu semua adalah contoh racun yang ditaburkan orangtua terhadap anak. Dalam dosis tertentu, semua racun tersebut melumpuhkan potensi kebaikan anak, dan menumpuk menjadi trauma serta kekecewaan yang berlebihan.

ilustrasi : vectorstock
ilustrasi : vectorstock
Belajar Kepada Nabi Ibrahim As 

Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban selalu membawa kita kepada keteladanan Nabi Ibrahim As, baik secara pribadi maupun keluarga beliau. 

Dari tahun ke tahun, kita selalu diingatkan akan kelembutan Nabi Ibrahim, sikap santun Nabi Ibrahim, namun juga ketegasan dan ketaatan terhadap perintah Allah yang tanpa kompromi. Semestinya kita belajar menjadi wonderful parent dari beliau, dan berusaha menjauhi karakter toxic parent.

Di antara pelajaran sangat penting bagi kehidupan kita saat ini adalah tentang kesantunan yang diajarkan Nabi Ibrahim kepada putranya, Ismail. 

Coba kita simak kembali kisah tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan perintah Allah untuk menyembelih Isma'il. Perhatikan dialog sepenuh kasih sayang dalam ayat berikut:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. 

Maka pikirkanlah apa pendapatmu?" Ia menjawab: "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash-Shaaffaat: 102)

Lihatlah kesantunan dalam cara memanggil dan cara menjawab pada dialog di atas. Nabi Ibrahim As memanggil anaknya dengan pilihan kata "Ya Bunayya", sebuah panggilan yang sangat halus dan penuh kasih sayang. 

Beliau bisa saja memanggil anaknya secara langsung dengan, "Wahai Ismail", atau beliau juga bisa memanggil dengan "Ya Ibni". Namun ternyata beliau menggunakan bentuk tasghir "ya Bunayya" yang lebih lembut, lebih halus dan lebih santun dibanding panggilan lainnya.

Karena Nabi Ibrahim memanggil putranya sepenuh kelembutan dan kasih sayang, maka dijawab pula oleh Ismail dengan sepenuh penghormatan dan kasih sayang. Dalam ayat di atas, Ismail menjawab panggilan ayahnya dengan cara yang sangat santun, yakni "Ya Abati". 

Baca juga: Esensi Idul Adha, Napak Tilas Jejak Sabar Keluarga Nabi Ibrahim As

Panggilan Ya Abati, lebih halus dan penuh kasih sayang, dibandingkan dengan panggilan Ya Abi, apalagi jika menjawab dengan Ya Ibrahim. Ini adalah contoh komunikasi orangtua dengan anak yang penuh kesantunan. Orangtua mencontohkan cara memanggil yang lembut, dibalas anaknya dengan jawaban yang lembut pula.

Maka jika orangtua membiasakan memanggil anaknya secara bully, anaknya pun akan ikut membalas bully tersebut. Jika orangtua menjelekkan anaknya, maka anak pun terbiasa mencela orangtua. Ini semua karena contoh dan pembiasaan yang dilakukan orang tua kepada anak-anak.

Jika ayah memanggil anaknya, "Hai gendut, kamu lagi ngapain?"

Maka anak bisa menjawab, "Ga usah tanya Bro, dirimu lebih gendut lagi".

Jika ayah memanggil anaknya, "He, Ndas Gundhul, mreneo!"

Maka anak bisa menjawab, "Wegah Dab!"

Kembali kepada kita semua, ingin menjadi wonderful parent, atau memilih menjadi toxic parent? Jika ingin menjadi wionderful parent, mari terus belajar, mengevaluasi diri, dan berusaha memperbaiki pola pengasuhan dari waktu ke waktu. Belajar itu, tak pernah berhenti.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1440 H. Semoga ibadah qurban kita diterima Allah Ta'ala. Aamiin.

Balai Belajar Masyarakat (BBM), Mertosanan Kulon, Yogyakarta
10 Dzulhijah 1440 / 11 Agustus 2019

***

CATATAN: Renungan ini terkhusus saya tujukan untuk semua peserta SEKOLAH IBU YOGYAKARTA (SIY) dan SEKOLAH AYAH YOGYAKARTA (SAY) tahun 2019. Semoga semakin giat belajar.

Blaz Kos, Toxic Parents: Parents Who Do Unloving Things in The Name of Love
Cahyadi Takariawan, Wonderful Parent : Menjadi Orangtua Keren, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2019
Mohammad Rianto Utama, Ancaman Terbesar Bangsa Ini Bermula dari Rumah.
Susan Forward, Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life, Bantam Doubleday Dell Publishing, New York, 2002

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun