Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mumpung Ramadan, Jauhi "Bencana Pernikahan"

18 Mei 2019   06:37 Diperbarui: 18 Mei 2019   21:55 2327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.thenational.ae

Pernikahan dan berumah tangga adalah sebuah laboratorium kehidupan yang tidak akan ada habisnya untuk dipelajari dan diteliti. Karena pernikahan adalah penyatuan dua insan yang berbeda, yang akan berinteraksi dan berkomunikasi dalam masa yang panjang. 

Pasangan suami istri bertemu dalam prosesi akad nikah, untuk membangun sebuah kehidupan keluarga yang berdaya, sejahtera, harmonis serta bahagia. Tentu ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalannya.

John M. Gottman dalam buku Disayang Suami Sampai Mati, yang judul aslinya adalah The Seven Principles for Making Marriage Work, menceritakan rangkaian penelitian dan studi mendalam yang ia lakukan dalam masa yang panjang. 

Ia mengamati fenomena pasangan, bagaimana mereka berinteraksi dan berkomunikasi, yang bisa digunakan untuk memperkirakan kelanjutan hubungan mereka. Gottman menyampaikan tanda-tanda pasangan yang tidak akan langgeng dalam membangun hubungan.

Saya mengambil beberapa poin yang disampaikan Gottman untuk saya ulas kembali dengan bahasa dan pengalaman saya bersama tim dari ruang konseling di Jogja Family Center (JFC) sejak tahun 2000 hingga sekarang. Perspektif pengalaman membersamai klien di ruang konseling lebih dominan saya gunakan dalam memberikan pemaknaan atas tanda bencana pernikahan ini. 

Tanda-tanda yang disampaikan Gottman menurut saya cukup penting untuk dicermati calon pengantin maupun pasangan suami istri yang sudah hidup berumah tangga, berapapun lamanya.

Bagi calon pengantin, hal ini menjadi bekal awal, agar bisa menghindari berbagai pertanda yang akan menjerumuskan keluarga mereka kelak ke dalam bencana. Sedangkan bagi yang sudah berumah tangga, agar bisa menjadi sarana evaluasi dan perbaikan kondisi. 

Tidak ada yang terlambat, sepanjang pasangan suami istri bersama-sama bersedia menyadari dan melakukan tindakan terbaik untuk mencegah, menghindari, serta menemukan solusi apabila terlanjur memiliki atau terjebak dalam tanda-tanda bencana.

Menurut Gottman, apabila pasangan memiliki tanda-tanda berikut dalam interaksi keseharian mereka, maka mereka berpeluang besar untuk memasuki "bencana pernikahan" yang sangat membahayakan.

Permulaan yang Kasar

Memelihara Pemisah Jarak

Membiarkan Banjir Emosi

Bahasa Tubuh Tidak Bersahabat

Upaya Perbaikan yang Gagal

Merawat Kenangan Buruk

Berikut saya coba memberikan ulasan ringkas dari setiap tanda tersebut, sekali lagi, dengan sudut pandang dan pengalaman saya sendiri.

Permulaan yang Kasar

Apabila suami atau istri terbiasa mengawali interaksi dankomunikasi dengan suasana yang kasar, akan cenderung membuat pasangan defensif dan menutup diri. Komunikasi baru akan nyaman dan lancar, apabila mereka mengawali dengan cara yang baik. Kata-kata kasar, kalimat sarkasme, ungkapan yang bernada meremehkan, membuat suasana interaksi di antara mereka akan tersekat.

Jika sejak awal komunikasi sudah menunjukkan gejala kekasaran dalam kata-kata maupun sikap, kenyamanan suasana tidak akan bisa terbangun. Perhatikan contoh permulaan yang kasar dalam interaksi suami istri.

"Pagi ini sangat menyebalkan. Bangun tidur tak ada teh panas untukku. Memang apa saja kerjamu?"

"Mengapa sikapmu kamu selalu menjengkelkan seperti itu? Tidak bisakah kamu mengerti kesibukanku?"

Permulaan komunikasi yang kasar seperti itu, akan membuat pasangan menjadi tidak nyaman. Suami atau istri yang mendapatkan pernyataan kasar tersebut, akan cenderung membela diri, atau justru menutup diri karena tersinggung dan tidak suka diperlakukan secara buruk. Alih-alih mendapat kelembutan dan kasih sayang, yang didapatkan justru kekasaran sikap sejak dari permulaan.

Apabila suasana seperti itu konsisten terjadi, maka pasangan akan memasuki wilayah bencana pernikahan yang membahayakan. Karena komunikasi dan interaksi menjadi tersumbat, tidak lancar, tidak menyenangkan, Suami atau istri menjadi tertekan dan dalam janga panjang membuat tumpukan beban yang siap meledak menjadi konflik berkelanjutan.

Seharusnya mereka bisa mengubah ungkapan di atas menjadi kalimat yang positif, halus dan lembut.

"Masyaallah, pagi yang indah Dek. Ingin sekali rasanya menikmati teh cinta buatan tangan halusmu..."

"Senang sekali punya suami seperti dirimu, Bang. Tolong bantuin aku menyelesaikan kerjaan rumah ini dong Bang..."

Memelihara Pemisah Jarak

Semestinya pasangan suami dan istri harus mengusahakan kelekatan yang semakin baik dari waktu ke waktu. Kelekatan (bonding) inilah yang membuat merekia semakin terikat kuat dan sulit untuk dipisahkan. 

Namun apabila pasangan suami istri membiasakan perilaku yang sebaliknya, akan membuat hubungan mereka justru semakin menjauh. Dari waktu ke waktu, mereka akan semakin terpisahkan oleh jarak.

Ada empat perilaku interaksi yang potensial memisahkan jarak antara suami dan istri semakin jauh, yaitu : banyak mengkritik, banyak mencela, menyalahkan pasangan, dan membangun benteng.

Perilaku pertama adalah banyak mengkritik pasangan. Semua orang tentu memiliki harapan kepada pasangan, yang terkadang tidak bisa menjadi kenyataan. Kondisi yang tidak sesuai harapan ini biasa memunculkan banyak kritik terhadap pasangan, yang ditujukan kepada pribadi atau sifat tertentu. 

Semakin sering pasangan dikritik, semakin tidak nyaman dirinya. Kritik terhadap pasangan akan semakin menjauhkan hubungan, semakin memisahkan jarak di antara mereka berdua.

Contoh kritikan : "Abang terlalu banyak waktu untuk tidur, jadinya kurang produktif".

Perilaku kedua adalah banyak mencela pasangan. Apabila kritikan dirasa tidak mempan, biasanya meningkat menjadi banyak mencela. Suami atau istri mencela, mencibir, menghina, mengejek dan merendahkan pasangan. 

Ini menjadi racun yang sangat mematikan dalam membangun kelekatan dengan pasangan. Banyak kritik terhadap pasangan saja bisa menjauhkan hubungan, apalagi ketika diteruskan dengan banyak mencela.

Contoh celaan : "Dasar pemalas, kerjanya cuma makan sama tidur".

Perilaku ketiga adalah menyalahkan pasangan. Kritik dan celaan tidak menunjukkan hasil perubahan seperti yang diharapkan, maka mulai semakin berani dan sering bersikap menyalahkan pasangan. "Ini semua salahmu", atau "Semua gara-gara kamu". 

Sikap dan perilaku yang selalu menyalahkan pasangan, membuat suasana semakin runyam dan tidak nyaman. Hubungan mereka semakin menjauh, ada jarak yang bertambah lebar memisahkan mereka.

Contoh menyalahkan pasangan : "Keuangan keluarga kita masih berat. Ini semua gara-gara Abang tidak mau berusaha".

Perilaku keempat adalah membangun benteng. Yang dimaksud adalah perilaku untuk menyatakan "aku tidak seperti yang engkau kira", atau "aku tidak seperti itu", atau "terserah apa katamu, aku tidak begitu", atau "aku memang seperti ini dan tidak akan berubah". 

Seperti tembok atau benteng yang berdiri kaku, untuk menyatakan keakuan diri. Setelah banyak mengkritik, banyak mencela, banyak menyalahkan pasangan, ujungnya adalah membangun benteng untuk menunjukkan eksistensi diri di hadapan pasangan.

Empat perilaku inilah yang akan memisahkan jarak psikologis antara suami dan isteri. Semakin sering empat perilaku ini dijalankan dalam kehidupan, semakin panjang jarak yang terentang memisahkan suami dan istri. Inilah yang menyeret pasangan suami istri masuk dalam kawasan bencana yang berbahaya.

Membiarkan Banjir Emosi

Permulaan komunikasi yang kasar, ditambah dirawatnya empat pemisah jarak, membuat suami dan istri akan banjir emosi. Yang dimaksud dengan "banjir emosi" adalah dominasi emosi yang melimpah dalam setiap titik interaksi dan komunikasi di antara mereka. 

Bak banjir bandang yang tak terbendung oleh penghalang apapun, suasana emosional membuat mereka berada dalam konflik terbuka yang semakin membahayakan hubungan.

Setiap menemukan ketidaknyamanan, langsung berada dalam tegangan tinggi. Suami dan istri mudah uring-uringan. Komunikasi menjadi semakin macet dan tidak menemukan jalan lapang untuk membuat keterbukaan dan kelancaran pembicaraan. 

Seakan-akan semua pembicaraan selalu melahirkan ketegangan, yang berujung kepada meledaknya kemarahan. Suami akan cenderung melampiaskan dengan tindakan meninggalkan istri, dan istri akan cenderung melampiaskan dengan menangis.

Ini yang dimaksud sebagai banjir emosi. Suatu suasana dimana suami dan istri sangat mudah untuk bersikap emosional, bahkan untuk hal-hal yang remeh dan sepele sekalipun. 

Dalam semua titik interaksi mereka, sangat mudah menyulut kemarahan dan emosi. Kondisi ini akan membuat pasangan suami istri masuk kawasan bencana pernikahan yang kian membahayakan.

Sumbu pendek, mungkin itu istilah lainnya. Suami dan istri mudah meledak emosinya, hanya untuk hal-hal sederhana. Padahal sangat banyak hal-hal sangat penting dan besar yang bisa mengikat mereka berdua, namun mudah terburai oleh emosisesaat yang meledak-ledak. 

Banjir emosi ini harus dicegah dan diatasi oleh suami dan istri. Regulasi emosi, kontrol diri, manajemen hati, forgiveness, itu yang harus miliki untuk menghindari situasi banjir emosi yang mampu merusak semua kebaikan dan kebahagiaan bersama pasangan.

Bahasa Tubuh Tidak Bersahabat

Pasangan suami istri yang telah terbanjiri oleh emosi, akan terkonfirmasi dan tampak dalam bahasa tubuh mereka setiap kali bertemu. Berpaling, membuang wajah, detak jantung lebih cepat, nafas tersengal-sengal, wajah memerah, gigi gemertak, dan lain sebagainya. 

Jika bahasa tubuh sudah mulai menyatakan sikap tidak bersahabat seperti itu, akan membuat pasangan semakin tidak nyaman untuk mendekat. Mereka akan mulai cenderung menjauh secara fisik.

Suami dan istri mulai memilih berkegiatan sendiri-sendiri, makan sendiri-sendiri, tidur sendiri-sendiri, tidak ada lagi ciuman, pelukan, belaian dan bentuk kasih sayang lainnya. Hubungan seks juga mulai terganggui karena suasana kejiwaan yang sedang tidak nyaman di antara mereka. 

Jika suasana seperti ini sudah terbangun, bencana pernikahan memasuki level yang semakin membahayakan. Suami dan istri akan merasa lebih nyaman dalam kesendirian, tidak bersama pasangan. Karena setiap bertemu pasangan justru membuat suasana tidak nyaman.

Bahasa tubuh yang tidak bersahabat adalah konsekuensi dari banjir emosi yang terjadi pada mereka berdua. Suasana emosional itulah yang membawa dampak langsung terhadap buruknya bahasa tubuh. Gerak gerik, gestur, raut wajah, semua mengkonfirmasi adanya banjir emosi yang sedang terjadi. Akibatnya, muncullah ketidaknyamanan untuk berdekatan dengan pasangan.

Upaya Perbaikan yang Gagal

Dalam suasana ketegangan yang terus memuncak, kadang suami atau istri berusaha untuk melakukan perbaikan keadaan. Misalnya suami membuat canda atau joke, dengan harapan pertengkaran mereda. Kadang suami meninggalkan istri yang tengah marah, dengan harapan saat ia kembali suasana sudah semakin membaik. 

Kadang istri bercerita hal-hal lain untuk mengalihkan perhatian, atau untuk mendinginkan suasana. Apabila upaya perbaikan ini sukses, maka akan terbentuk kenyamanan interaksi di antara mereka. Ketegangan mereda, suasana kembali cair dan enak untuk meneruskan pembicaraan berikutnya.

Namun apabila upaya itu gagal, yang terjadi justru sebaliknya : memperparah suasana. Contohnya ketika seorang suami tiba-tiba bercanda di tengah pertengkaran mereka, istri yang tidak memahami maksud suami justru semakin emosi karena menuduh suaminya mempermainkan atau mengejek dirinya. 

Atau ketika tiba-tiba suami pergi meninggalkan istri yang tengah emosi, apabila istri tidak mengerti maksud suami justru akan semakin menambah daftar panjang bahan pertengkaran di antara mereka. 

Istri bisa menganggap suami berlaku tidak bertanggung jawab, karena belum selesai pembicaraan malah pergi meninggalkan gelanggang pertengkaran.

Maka harus berhati-hati dalam memilih upaya perbaikan, karena jika tidak dipahami oleh pasangan, akan menyebabkan suasana menjadi semakin parah.

"Dasar suami tidak bertanggung jawab, diajak bicara tidak menjawab, malah ngeloyor pergi tanpa permisi".

"Benar-benar tidak beradab. Suami sedang bicara, malah cengengesan kayak gitu. Apa dikira ini lucu?"

Upaya perbaikan harus dipilih secara tepat, dalam suasana apa mereka melakukan apa. Karena jika upaya itu gagal, sering kali semakin memperparah suasana hubungan di antara mereka.

Merawat Kenangan Buruk

Semua kondisi tersebut masih bisa diperparah oleh hadirnya kenangan buruk terhadap pasangan. Pada pengantin baru yang tengah menikmati masa romantic love, semua terasa sangat indah. 

Namun ketika berbagai tanda bencana sudah mulai mereka hadapi, maka yang terjadi adalah dekonstruksi terhadap semua keindahan yang sudah dinikmati bersama pasangan, dalam sudut pandang yang negatif. 

Semua hal dihubung-hubungkan dengan persepsi buruk, sehingga seakan-akan menyambung antara satu kejadian dengan kejadian yang lainnya, membenarkan persepsi buruk tersebut.

"Makanya dulu saat perkenalan sebelum menikah, dia sangat detail bertanya soal pekerjaan dan penghasilanku. Ternyata memang orangnya sangat materialistis. Tidak qona'ah dengan pemberian suami".

"Aku dulu tidak paham, mengapa saat malam pertama dia keliru menyebut namaku. Ternyata memang dia memiliki sangat banyak mantan yang belum bisa dilupakan".

"Ternyata dia memang tidak mencintaiku. Itu sebabnya dia sering bertanya kepada aku, apakah aku masih mencintainya? Ternyata hanya untuk menutupi kebusukan dirinya sendiri".

Terbentuklah kenangan buruk atas hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu, yang dikonfirmasi secara negatif dengan kondisi saat ini yang mengecewakan. 

Padahal bisa jadi, kejadian di masa lalu tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan kritis yang dihadapi sekarang. Namun karena sudah terlanjur berkubang dalam berbagai permasalahan dan pertengkaran dengan pasangan, seakan-akan semua hal terkonfirmasi dengan persepsi buruk yang dimiliki saat ini.

Nah, tatkala tanda-tanda tersebut sudah "sempurna" dialami oleh pasangan suami istri, mereka harus sadar sepenuhnya bahwa kehidupan pernikahan tengah berada dalam bencana yang sangat serius dan harus segera diatasi. 

Keterlambatan mendeteksi dan mengantisipasi, akan menyebabkan mereka masuk dalam kawasan bencana yang semakin mengancam keharmonisan, kebahagiaan bahkan keutuhan keluarga.

Waspadalah.

***

Bahan Bacaan:
Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016
John M. Gottman, Disayang Suami Sampai Mati, Kaifa, Jakarta, 2005

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun