Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Pedoman Pendidikan Anak di Era Digital

29 Agustus 2018   05:06 Diperbarui: 30 Agustus 2018   12:14 8961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.sehatfresh.com

Setiap zaman selalu memiliki tantangan dan kegelisahan yang harus dijawab. Pada zaman dulu kala, kita sibuk membahas dampak televisi terhadap anak-anak bangsa. 

Jurnal Educational Researcher pada 3 April 1992, misalnya, telah memuat artikel "Compliant Cognition: The Misalliance of Management and Instructional Goals in Current School Reform", tulisan Mary McCaslin dan Thomas Good. 

Dalam artikel itu dinyatakan kegelisahan terhadap maraknya budaya menonton televisi pada pelajar Amerika. McCaslin dan Good menganggap dampak menonton televisi terhadap prestasi belajar anak bukanlah hal sederhana.

"Clearly, the answer to America's educational problems does not lie in simply extending school boundaries into the home nor can it be reduced to the simple equation: more homework + less television = school progress", ujar MacCaslin. 

Prestasi belajar anak tidak bisa disimplifikasi dengan rumus memperbanyak PR dan mengurangi jam nonton TV. Rupanya kegelisahan yang sama diungkapkan oleh Ralph Tyler dalam artikelnya "What Have We Learned About Learning?" pada tahun 1979. "The time lost in these kinds of experiences has largely been taken up by TV", ujarnya.

Secara miris Tyler menambahkan, "The average American child between the ages of 10 and 14 spends about 1,500 hours per year viewing TV and only about 1,100 hours per year in school". 

Pada masa itu, masyarakat dunia khawatir dengan pendidikan anak akibat serbuan tayangan televisi. Masa itu kini telah lewat. Kini, kita berada pada zaman yang sama sekali baru. Saat ini kita hampir tidak lagi bicara atau khawatir soal televisi, karena ada banyak hal yang lebih mengkhawatirkan.

Era digital telah membawa suasana baru yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Perubahan dan pengaruh era digital dirasakan pada semua bidang kehidupan, secara positif maupun negatif. 

Berdasarkan survei dari Hewlett-Packard (HP) dan Universitas Paramadina tahun 2017 lalu, didapatkan data sebanyak 85 persen siswa menggunakan ponsel saat berada di kelas tanpa sepengetahuan guru. Sementara itu, hasil wawancara terhadap ribuan tenaga pendidik dalam mengakses internet, hanya 33 persen saja guru yang mengakses internet.

Hal itu sejalan dengan hasil sebuah survei yang dilakukan UNICEF bersama para mitra, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Universitas Harvard. 

Survei tersebut menemukan, sebanyak 98 persen anak dan remaja mengaku tahu tentang internet, dan 79,5 persen anak dan remaja adalah pengguna internet. Masih ada sekitar 20 pesen responden yang tidak menggunakan internet, alasan utamanya, mereka tidak memiliki perangkat untuk mengakses internet, atau mereka dilarang orang tua untuk mengakses internet.

Tidak bijak untuk menutup diri sama sekali dari teknologi, sebagaimana juga tidak bijak untuk membuka akses terhadap teknologi tanpa ada batasan sama sekali. Yang diperlukan adalah tindakan yang positif dan konstruktif dalam mendidik, mengasuh, mendampingi, mengarahkan dan membina anak-anak kita, baik di rumah, di sekolah, maupun pada lingkungan sekitarnya. Hendaknya anak-anak tetap menjadi asuhan dan didikan orang tua serta guru, bukan asuhan internet dan gadget. Di zaman atau era apapun mereka hidup dan berkembang.

ilustrasi : www.pinterest.com/nayuwulandari
ilustrasi : www.pinterest.com/nayuwulandari
Pedoman untuk Mendidik Anak di Era Digital
Orang tua tidak perlu dibuat bingung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, karena teknologi akan terus berkembang dengan sangat cepat. Bahkan melebihi kemampuan kita untuk mempelajarinya. 

Di zaman kakek moyang kita, mungkin mereka sibuk menasehati anak agar tidak terus menerus duduk di dekat radio untuk mendengarkan siaran. 

Di zaman orang tua kita, mereka sibuk menasehati anak-anak agar tidak kecanduan tayangan televisi. 

Di zaman kita, semua sibuk mengkondisikan anak agar tidak kecanduan gadget. Lima tahun dari sekarang, persoalan sudah berganti lagi.

Seperti apapun perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, selalu ada garis lurus yang bisa diikuti. Yang membuat kita tidak menjadi bingung dan galau. 

Berikut 8 pedoman untuk mendidik anak di era digital saat ini, yang harus diaplikasikan secara kolektif oleh semua komponen anak bangsa, dimulai dari keluarga. Hendaknya ayah dan ibu berusaha untuk menerapkan delapan pedoman berikut ini dalam mendidik anak-anak sejak di rumah.

Ambil Tanggung Jawab 
Hendaknya orang tua mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam mendidik anak, karena inilah hakikat tugas utama orang tua. Pihak lain seperti sekolah, madrasah, pesantren hanyalah membantu orang tua dalam mendidik anak-anak. 

Orang tua penuh dengan keterbatasan, tidak mampu untuk mengajarkan segala hal kepada anak-anak, maka mereka memerlukan mitra untuk mendidik anak berupa guru, ustaz, sekolah, madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Namun, tanggung jawab utama pendidikan anak tetap ada pada orang tua.

Hadits Nabi SAW dengan jelas dan tegas menyatakan hal tersebut, "Setiap manusia dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi," Hadits Riwayat Muslim. 

Dengan jelas Nabi SAW menyatakan, orang tuanya yang menyebabkan anak keluar dari fitrah itu, padahal sejak kelahirannya Allah telah menjadikan manusia berada dalam fitrah. Nabi tidak menyatakan "gurunya", atau "sekolahnya", atau "masyarakatnya", atau "pemerintahnya", atau "gadgetnya". 

Namun yang disebutkan adalah orang tua. Ini menandakan, orang tua harus mengambil tanggung jawab pendidikan anak secara sepenuhnya, walaupun secara teknis bisa meminta bantuan kepada sekolah, madrasah, pesantren, kampus, dan lain sebagainya.

Sinergi Pengasuhan 
Hendaknya orang tua memiliki sinergi yang positif dalam mendidik dan mengarahkan anak. Harus ada sinergi antara ayah dan ibu dalam proses pendidikan anak. Jangan sampai pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu saja, atau kepada ayah saja, padahal mereka adalah keluarga yang utuh. 

Tentu berbeda kondisinya dengan keluarga single parent yang memang harus mengasuh dan mendidik anak secara sendirian. Ayah harus terlibat dalam pendidikan anak, demikian pula ibu harus terlibat dalam pendidikan anak. 

Mendapatkan pengasuhan dari kedua orang tua secara utuh akan berpengaruh secara sangat positif terhadap perkembangan kejiwaan anak hingga dewasa kelak.

Salah satu catatan penting dalam pendidikan anak dalam keluarga adalah, perlunya keseimbangan antara aktivitas di dalam dan di luar rumah. Hendaknya suami dan istri pandai mengatur waktu, pandai mengelola kegiatan, pandai membagi perhatian, sehingga semua tugas dan kewajiban baik di dalam rumah maupun di luar rumah bisa terlaksana secara optimal. 

Suami dan istri harus kompak dalam menjalankan kehidupan berumah tangga hingga pendidikan anak, sejak dari kompak dalam visi, kompak dalam pola asuh, kompak dalam komunikasi, kompak dalam sikap dan kompak dalam aturan.

Jadilah Orang tua yang Kuat, Pintar, Hangat dan Bersahabat 
Jadilah orang tua yang kuat, pintar, hangat dan bersahabat untuk mendampingi anak-anak di era cyber ini. Orang tua kuat, memiliki spiritualitas yang tinggi, memiliki visi, cita-cita dan berusaha mewujudkannya dalam keluarga. 

Orang tua pintar, terus belajar dan menambah ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mendidik anak-anak. Orang tua hangat, selalu berlaku lembut, penyayang, penuh cinta kasih terhadap anak. 

Orang tua bersahabat, selalu berkomunikasi, mendengarkan curhat anak, mengerti keinginan anak, dan bisa mengarahkan dengan cara yang menyenangkan anak.

Dengan cara seperti ini, anak akan betah bersama orang tua di rumah, sekaligus mudah untuk diarahkan dan diingatkan. Anak nyaman bersama orang tua, dan tidak memberontak atau lari dari keluarga. 

Tidak ada alasan bagi anak untuk menjauh atau memberontak terhadap orang tua, apabila mereka memiliki ayah ibu yang kuat, pintar, hangat serta bersahabat. Tidak ada cara lain bagi ayah dan ibu agar bisa memiliki karakter tersebut kecuali dengan terus belajar dan memperbaiki diri. Ada sangat banyak sarana pembelajaran bagi ayah dan ibu untuk terus menerus meningkatkan kapasitas diri.

Tanamkan Nilai
Hal penting yang harus dilakukan orang tua dalam mendidik anak adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan kepada anak. Penanaman nilai ini sudah dilakukan sejak sebelum kehamilan. Islam mengajarkan adab hubungan suami istri, agar jika dari hubungan itu muncul kehamilan, bisa menghindarkan janin dari godaan setan. 

Islam mengajarkan sejumlah tuntunan saat menyambut kelahiran bayi, itu semua adalah bagian utuh dari cara menanamkan nilai tauhid, nilai kebenaran, nilai kebaikan kepada anak sejak dini. Bahkan sejak mereka belum ada.

Seiring pertambahan usia, anak harus mendapatkan penanaman nilai yang lebih lengkap dan lebih sempurna, sebagaimana telah dicontohkan oleh Luqman Al-hakim dalam Alquran. 

Luqman sebagai ayah telah menanamkan keyakinan tauhid ke dalam jiwa anaknya, menanamkan keyakinan akan pengawasan Allah, sekaligus menanamkan nilai-nilai kebaikan yang akan menjadi pedoman bagi sang anak untuk menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya. Jika anak memiliki pondasi nilai yang benar dan kuat, akan menjadi modal terbesar dalam menghadapi seluruh bentuk tantangan pada berbagai keadaan dan beragam zaman.

Mentoring dan Monitoring
Anak-anak memerlukan mentoring tentang berbagai macam hal dalam kehidupannya. Misalnya tentang teknologi, anak harus mendapatkan edukasi tentang penggunaan internet dan gadget secara positif. Ada tutorial atau mentoring tentang cara pemanfaatan internet, mentoring tentang rambu-rambu boleh serta tidak boleh, sehingga anak sejak awal sudah mengerti batasan. 

Kadang orang tua sekedar memberikan segala sesuatu yang diinginkan anak tanpa mentoring. Misalnya membelikan HP, gadget, tablet, laptop, sarana game online dan akses internet tanpa batas kepada anak, namun tidak diawali dengan mentoring tentang cara pemanfaatannya secara positif. Dampaknya anak berpesta pora dengan semua fasilitas yang diberikan orang tua tersebut tanpa mengetahui batasan yang semestinya mengikat dirinya.

Selain mentoring untuk memberikan pengajaran, juga diperlukan monitoring. Hendaknya orang tua berusaha memonitor anak dalam penggunaan teknologi, jangan sampai kecanduan atau menggunakan untuk hal yang tidak sejalan dengan kebaikan. Orang tua perlu memonitor sahabat-sahabat dekat anak baik yang offline maupun online. 

Orang tua perlu memonitor lingkungan permainan, lingkungan pergaulan anak, sehingga menjadi tahu apakah anak berada dalam koridor kebenaran dan kebaikan, ataukah sudah menyimpang dan bahkan terjerumus ke dalam kejahatan. Sangat berbahaya jika anak lepas kontrol, tanpa monitoring dari orang tua.

Terapkan Aturan Screen Time dan Family Time
Ini menyangkut aturan di dalam rumah, hari apa dan jam berapa, atau berapa jam maksimal penggunaan gadget bagi anak-anak. Bukan hanya untuk anak-anak balita atau anak kecil, namun aturan ini juga berlaku untuk orang tua dan seluruh anggota keluarga. 

Harus ada "family time", di mana pada waktu tersebut seluruh perangkat harus diletakkan dan dijauhkan dari keluarga. Mereka berinteraksi dan berkomunikasi, atau berkegiatan secara bersama-sama, tanpa gangguan teknologi. Inilah hakikat "screen time" atau diet teknologi, bahwa ada pembatasan pemakaian secara ketat sehingga keluarga tidak terjajah oleh teknologi.

Sangat sering dijumpai, satu keluarga yang berkumpul di rumah atau bepergian bersama-sama dalam rombongan, namun tidak ada interaksi di antara mereka. 

Semua asyik dengan gadget, semua asyik dengan dunia masing-masing, tanpa peduli lingkungan sekitar. Kondisi ini, walaupun satu keluarga sedang berada di tempat yang sama, tidak bisa disebut sebagai "family time". Itulah "screen time" yang harus dibatasi, dan dibuat kesepakatan bersama dalam keluarga. Kehangatan kasih sayang dalm keluarga tidak boleh tergantikan oleh kehangatan interaksi dengan teknologi.

Kerjasama dengan Pihak Sekolah 
Orang tua tidak bisa sendirian dalam mendidik anak, maka harus ada kerjasama dengan pihak sekolah dan lingkungan sekitar dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas. 

Orang tua dan guru di sekolah harus saling mendukung upaya mewujudkan "good digital citizens", sebab pihak sekolah kerap memiliki pelajaran dan tugas terhadap siswa yang menggunakan perangkat gadget serta koneksi internet. 

Kadang dengan alasan mengerjakan tugas sekolah, anak minta dibelikan fasiltas gadget canggih, padahal tuntutan pihak sekolah tidak sampai ke tingkat itu. Hal-hal seperti inilah yang harus terus menerus dikomunikasikan dan disepakati antara orang tua dengan pihak sekolah.

Nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dengan di sekolah, hendaknya saling sinergi dan tidak berbenturan. Pada dasarnya, semua menghendaki lahirnya anak-anak yang salih salihah, takwa, cerdas, trampil, sehat, kuat, kreatif, inovatif, dan berbagai karakter positif lainnya. 

Hanya saja, terkadang dijumpai tidak sinkron antara aturan dan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dengan di sekolah. Dampaknya anak akan mengalami keterpecahan, harus percaya kepada siapa. Harus mengikuti siapa. Tentu situasi ini membingunkan bagi anak. Maka sangat penting kerjasama serta sinergi orang tua dengan sekolah agar semua tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan optimal.

Ciptakan Lingkungan Pembelajaran
Lingkungan masyarakat juga harus mendapatkan edukasi dan diajak membuat kesepakatan positif untuk menciptakan suasana kondusif dalam pembelajaran anak.

Jika suasana di rumah, sekolah dan lingkungan sekitar sudah kondusif, akan memudahkan untuk mengarahkan anak-anak menuju kebaikan karakter mereka. 

Kita ingat kejadian lama, saat masyarakat tengah dihadapkan pada realitas anak-anak yang kecanduan dengan televisi. Muncullah formula JBM alias Jam Belajar Masyarakat, dimana masyarakat diminta mematikan televisi pada jam 18.00 -- 20.00 karena itumerupakan jam mengaji dan belajar bagi anak.

Formula itu menjadi sangat menarik, bukan soal angka jam yang dipersoalkan, akan tetapi pada keterlibatan masyarakat dalam menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran bagi anak-anak. Inilah yang dimaksudkan sebagai lingkungan pembelajaran, karena anak-anak Indonesia tumbuh berkembang di tengah kehidupan masyarakat. 

Jika di rumah TV dimatikan, seorang anak bisa keluar untuk menonton TV di rumah tetangga. Jika tetangga terdekat TV-nya juga dimatikan, ia bisa numpang nonton di rumah tetangga sebelahnya lagi. Maka begitu masyarakat semuanya kompak mematikan TV, anak-anak tidak lagi memiliki alternatif.

Di zaman sekarang ide JBM itu masih tetap relevan. Bisa diberlakukan untuk jam mematikan gadget bagi seluruh anggota keluarga, guna mendukung anak-anak untuk belajar dengan sebaik-baiknya, dalam suasana yang kondusif. 

Relevansi JBM lebih bertumpu kepada model pembentukan lingkungan pembelajaran di tengah masyarakat. Sungguh ini ide keren, karena suasana pembelajaran akan kondusif apabila mendapatkan dukungan nyata dari lingkungan sekitar. Hendaknya masyarakat selalu memberikan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran anak-anak.

Namun, yang lebih utama dan paling utama adalah suasana di dalam keluarga itu sendiri. Sebab, segala sesuatu dimulai dari keluarga. Maka apabila keluarga terjaga kebaikannya, akan berpeluang untuk melahirkan anak-anak yang baik, anak-anak yang salih dan salihah. 

Orang tua yang kompak dalam kebaikan, mampu membangun cinta dan kasih sayang, mampu memberikan suasana yang nyaman dalam keluarga, akan berdampak positif bagi anak hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, orang tua yang sering bertengkar, sering konflik, akan memberikan dampak negatif bagi anak-anak.

Bahkan psikolog E. Mark Cummings, PhD dari Universitas Notre Dame menyatakan bahwa pertengkaran orang tua bisa berdampak kepada anak di segala usia. Artinya, dalam konteks pertengkaran orang tua ini, tidak bisa dikatakan bahwa anak tidak akan terdampak jika ia masih sangat kecil, maupun ketika sudah dewasa. 

Baik masih bayi maupun anak yang sudah dewasa bahkan sudah berkeluarga, pertengkaran orang tua memiliki dampak negatif bagi mereka. Maka hendaklah menjadi orang tua yang kompak dalam kebaikan, kompak dalam cinta dan kasih sayang, sehingga anak-anak akan tumbuh dalam suasana yang positif dan konstruktif.

Referensi:

  1. Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Insan Kamil, 2015
  2. Abdul Wahhab Hamudah, Manajemen Rumah Tangga Nabi Saw, Pustaka Hidayah, 2002
  3. Abu Al Hamd Rabi', Baitul Muslim Al Qudwah, Era Adicitra Intermedia, 2015
  4. Cahyadi Takariawan, Wonderful Family, Era Adicitra Intermedia, 2016
  5. Daniel Goleman, Emotional Intelligence, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
  6. Darlene Powell Hopson dan Derek S. Hopson, Menuju Keluarga Kompak, Kaifa, 2002
  7. Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, 2006.
  8. Ida Nur Laila, Menyayangi Anak Sepenuh Hati, Era Adicitra Intermedia, 2007
  9. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Rajawali Press, 2006
  10. Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Pustaka Al Kautsar, 1999

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun