Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seperti Apa Keluarga Penuh Cinta?

21 Agustus 2018   07:20 Diperbarui: 21 Agustus 2018   08:31 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibadah qurban beserta seluruh rangkaiannya, pada dasarnya kembali kepada kisah ketaatan Nabi Ibrahim As ketika mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Luar biasa ketaatan Nabi Ibrahim, sehingga Allah Ta'ala mengabadikan beliau sebagai suri teladan bagi orang-orang yang beriman. Hal ini telah Allah nyatakan dengan jelas dan tegas dalam ayat:

"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS. Al Mumtahanah : 4).

Beliau bersama istrinya, Siti Hajar, dan anaknya Ismail, juga Siti Sarah dan anaknya Ishaq, adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keimanan. Beliau mampu membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan totalitas pengorbanan dalam rangka mengharap ridha Allah semata. Pada saat yang bersamaan, Ibrahim As berhasil membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang.

Keluarga Ibrahim As memberikan sangat banyak pelajaran, apalagi bagi masyarakat modern saat ini, dalam membangun keharmonisan keluarga. Beliau memberikan teladan kepada kita tentang kelembutan dan kehangatan dalam interaksi dalam keluarga. Komunikasi cinta senantiasa beliau lakukan dalam keluarga, sebagaimana tampak ketika Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, "Ya bunayya". Ia tidak memanggil dengan ungkapan "Ya Ismail" atau "Ya ibni", wahai anakku.

Mari kita simak kembali ayat berikut ini:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash Shaaffaat : 102).

Komunikasi Penuh Cinta

Panggilan "ya bunayya", wahai anakku tersayang, memiliki rasa bahasa yang penuh dengan kelembutan dan kecintaan. Ada dua sisi pesan yang bisa kita tangkap dalam komunikasi ayah dan anak ini, pertama cinta dan kasih sayang yang tulus seorang ayah terhadap anaknya. 

Kedua, perasaan cinta dan kasih sayang tersebut diekspresikan dalam kata-kata verbal dan perbuatan nyata. Nabi Ibrahim bukan saja mencintai Ismail dalam hatinya, namun kecintaan itu ditampakkan secara verbal dengan kata-kata dan perbuatan.

Isyarat cinta dalam komunikasi verbal ini bisa ditangkap dengan baik oleh Ismail, karena Nabi Ibrahim melakukannya dengan penuh ketulusan jiwa. Bukan semata-mata kata-kata, namun benar-benar cinta seorang ayah yang terpancar dari dalam jiwa. Maka Ismail pun membalas komunikasi cinta itu dengan ungkapan yang juga sangat lembut penuh kasih sayang, "Ya Abati", wahai ayahanda terkasih. Ismail tidak menyebut ayahnya semata-mata "Ya Abi", wahai ayahku.

Ini adalah keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi keretakan dan kehancuran keluarga. Sangat banyak orang tua berlaku keras dan kasar terhadap anak-anaknya. Terjadi KDRT dan tindakan kezaliman yang dilakukan ayah terhadap anaknya. Tidak ada kelembutan dalam interaksi, tidak ada cinta dan kasih sayang dalam keluarga. Interaksi dan komunikasi antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, terjadi dengan situasi yang saling menyakiti dan melukai. Maka lahirlah keluarga broken home yang tidak berhasil membangun keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga.

Nurut Orangtua

Pelajaran berikutnya adalah perilaku "menurut" atau taat kepada orangtua yang ditunjukkan oleh Ismail. Kita mendapat pelajaran yang luar biasa dari sebuah keluarga yang diabadikan kisahnya dalam banyak ayat Al Qur'an ini. Ketaatan seorang anak terhadap ayah, tanpa keraguan sedikitpun dari sang anak bahwa ayahnya akan melakukan tindakan jahat terhadap dirinya. Sang anak mengetahui betul kualitas sang ayah, tentang kebaikan ayahnya, tentang ketulusan ayahnya, tentang kejujuran ayahnya, tentang kepribadian lurus ayahnya.

"Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash Shaaffaat : 102).

Sebuah pelajaran berharga, bahwa anak akan menurut dan taat kepada orang tua tentu memiliki persyaratan. Bukan muncul dengan sendirinya dan tiba-tiba atau sim salabim. Jika orang tua menunjukkan jati diri yang baik, karakter yang baik, maka anak akan mudah percaya dan taat kepada mereka. Namun jika orang tua tidak menunjukkan perilaku yang bisa dipercaya, akan menimbulkan keraguan dan ketidaknyamanan pada anak-anak. Bagaimana anak akan mudah taat kepada orang tua yang tidak bisa dipercaya kebaikannya?

Ketika di zaman sekarang banyak muncul anak-anak yang tidak nurut kepada orangtua, salah satu hal mendasar yang harus mendapat perhatian adalah, apakah orangtua sudah memiliki karakter yang layak untuk ditaati? Sering kali orangtua terlalu cepat menyalahkan keadaan di luar dirinya sebagai kambing hitam. 

Misalnya menyalahkan lingkungan, menyalahkan pihak sekolah, menyalahkan peraturan, menyalahkan pemerintah, menyalahkan teknologi, menyalahkan internet, menyalahkan gadget, menyalahkan masyarakat, menyalahkan film, menyalahkan televisi dan lain sebagainya. Mereka semua disalahkan, dituduh sebagai biang keladi penyebab kenakalan anak-anak, membuat anak tidak nurut orangtua.

Padahal penyebab pertama dan utama ada dalam rumah kita masing-masing.

Selamat Hari raya Idul Adha bagi sahabat semua yang merayakan hari ini --Selasa 21 Agustus 2018--- karena mengikuti prosesijama'ah haji di Saudi. Selamat berpuasa Arafah bagi sahabat semua yang mengikuti keputusan NU, Muhammadiyah dan Pemerintah RI, dan akan melaksanakan shalat Idul Adha besok pagi ---Rabu 22 Agustus 2018. Mari jaga persatuan dan kesatuan. Hormati perbedaan.

CIlilitan, 21 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun