Film 212 The Power of Love mulai tayang di bioskop sejak tanggal 9 Mei 2018 lalu. Hingga hari ini, berbagai bioskop selalu penuh padat penonton, karena tertarik untuk "reuni" dan mengenang kembali peristiwa aksi 212 yang sangat bersejarah bagi masyarakat muslim Indonesia.Â
Saya sudah dua kali ikut nonton bareng, yang pertama di Bintaro, kedua di Yogyakarta. Bagi saya, ini adalah film keluarga, untuk perenungan dan edukasi bagi seluruh anggota keluarga. Film 212 lebih banyak bercerita tentang kehidupan satu keluarga.
Secara umum, film ini terasa kuat karena berpusat pada penampilan karakter Rahmat (Fauzi Baadila), jurnalis majalah Republik yang tidak percaya ajaran agama. Rahmat adalah lulusan terbaik Harvard University dan pengagum Karl Marx, yang berkarakter dingin dan idealis. Padahal Rahmat adalah anak dari seorang Kiai Zainal (Humaidi Abbas), seorang tokoh Islam berpengaruh di Ciamis. Konflik terbangun sangat deras, antara Kiai Zainal dengan Rahmat, sejak awal film.
Kiai Zainal adalah tokoh agama dan pejuang agama, Rahmat adalah orang yang meninggalkan keyakinan agama, padahal lulusan Pesantren. Kiai Zainal ikut memimpin dan menggerakkan massa Ciamis untuk mengikuti Aksi Damai 212 di Monas, Rahmat sangat sinis dan menentang aksi tersebut. Kiai Zainal sosok orang lugu dan 'kampungan', Rahmat adalah sosok manusia cyber dan global. Kiai Zainal bercorak ortodok, Rahmat bercorak liberal.Â
Kiai Zainal menganggap aksi 212 adalah perjuangan membela agama, Rahmat menganggap 212 adalah aksi konyol yang ditunggangi kelompok politik praktis. Keduanya seakan-akan berbenturan secara vis a vis.
Sepuluh tahun Rahmat tidak bertemu sang ayah, ada sangat banyak alasan tersimpan di balik kisah keterpisahan ini. Alasan paling teknis adalah kesibukan kerja Rahmat di ibukota. Sebagai jurnalis, Rahmat tampak sangat menikmati pekerjaannya, sampai tidak sempat memperhatikan keluarga, juga tidak sempat berpikir untuk berumah tangga. Bahkan Adhin (Adhin Abdul Hakim), seorang fotografer teman kerja yang sekaligus teman karib Rahmat pun, tidak pernah tahu bahwa Rahmat masih punya bapak ibu di Ciamis.
Rahmat baru sempat pulang ke Ciamis saat mendapat kabar ibunya meninggal dunia. Pada momentum pulang itulah, konflik ayah dengan anak kembali mengemuka. Seakan mengorek semua luka-luka lama, Kiai Zainal dan Rahmat berwatak sama-sama kerasnya.Â
Benar komentar Adhin saat menyaksikan pertengkaran keduanya, "Anak dan Bapak sama saja kelakuannya". Sama-sama berwatak keras, sama-sama tidak mau mengalah, sama-sama teguh memegangi keyakinan, sama-sama ketus dalam perkataan. Bahkan saling ledek dan saling ejek.
Namun ada beribu alasan lain atas menghilangnya Rahmat selama sepuluh tahun dari keluarga. Masa kecil Rahmat yang cenderung nakal dan tidak terkendali, membuat Kiai Zainal memutuskan mengirim Rahmat ke Pesantren untuk sekolah. Sebagai orang tua yang taat beragama, Kiai Zainal sangat ingin semua anaknya menjadi anak salih dan dekat dengan masjid. Namun rupanya Rahmat menjadi ujian tersendiri bagi sang ayah.Â
Rahmat justru menjadi anak nakal dan ugal-ugalan. Saat berusia sebelas tahun Rahmat meledakkan mercon dan kembang api di dalam masjid yang menyebabkan kebakaran. Saat berusia enambelas tahun Rahmat mengendarai mobil dengan ngebut hingga menyebabkan kecelakaan yang menewaskan dua adik kandungnya.
Maka Pesantren adalah pilihan yang tepat untuk mendidik Rahmat, demikian keyakinan sang Ayah. Namun tidak bagi Rahmat. Ia merasa seperti dimasukkan ke dalam penjara. Ya, benar-benar seperti di penjara. DItambah lagi, selama Rahmat belajar di Pesantren, tidak sekalipun ditengok sang Ayah dan Ibu. Sakit rasanya, benar-benar merasa menjadi anak yang dibuang dari keluarga. Pada saat wisuda sajalah sang ibu hadir.