Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Produktivitas Cinta dalam Keluarga, Seperti Apa?

1 Mei 2018   10:57 Diperbarui: 2 Mei 2018   14:26 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: weheartit.com

Apa makna produktif dan produktivitas dalam kehidupan kita? Secara umum kita memahami, produktif adalah pemanfaatan sumber daya yang berdaya guna dan berhasil guna. Apabila pada semua waktu yang kita miliki bisa memberikan kemanfaatan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, itulah bentuk produktivitas waktu.

Sebagian orang menyempitkan makna produktivitas semata-mata dengan uang atau kemanfaatan praktis lainnya. Namun bagi orang beriman, tentu produktivitas tak bisa diukur hanya dengan uang, fasilitas, jasa ataupun barang. Bagi orang beriman, produkivitas itu multi dimensi. Terdiri dari unsur yang beragam. Tidak hanya konteks material, namun juga spiritual, emosional, serta sosial. Karena kebutuhan hidup manusia bukanlah dimensi tunggal.

Menjalani Kehidupan yang Produktif

Pada kalangan anak muda lajang yang terbiasa aktif, mereka mengelola waktu dengan efektif untuk berbagai kegiatan. Dalam satu hari mereka bisa menjalankan sangat banyak kegiatan yang beragam. Dengan itu mereka merasa sangat produktif. Mereka memaknai produktif itu sebagai teralokasikannya semua waktu untuk melaksanakan hal-hal yang bermanfaat. Tidak ada wasting time atau waktu yang terbuang sia-sia. Semua waktu teralokasikan secara efektif dalam banyak agenda "penting".

Apalagi ketika seseorang mulai bekerja profesional, maka makna produktif semakin ketat. Selain bekerja pada bidangnya, ia juga terlibat dalam berbagai pertemuan penting serta berbagai kegatan penting lain di lembaga tempatnya bekerja. Rasanya dunia kerja adalah segalanya dan menjadi hal paling utama, sehingga urusan keluarga yang dianggap remeh temeh sering diabaikan. Di tempat kerja, dirinya dihargai karena profesionalitasnya, sehingga menganggap kegiatan praktis rumah  tangga bukan dunianya.

Setelah ia menikah, suasana kehidupan menjadi sangat berubah. Ritme kehidupan serasa sangat berbeda. Seorang suami tiba-tiba merasa banyak membuang waktu percuma, "hanya" untuk mengantar atau menjemput istri tercinta. Seorang istri bisa merasa melakukan "hal bodoh" yang tak pernah dilakukan sebelum menikah : hanya untuk duduk dan menemani suami makan siang. Hanya di rumah untuk menemani suami, tidak kemana-mana, tidak "ngapa-ngapa".

Seorang ibu rumah tangga bisa merasa banyak waktu terbuang sia-sia karena habis untuk mengurus dua anak kecil yang polah tingkahnya tak bisa dikendalikan. Pada kondisi seperti ini, banyak orang mulai mempertanyakan makna produktivitas. Suami mudah uring-uringan karena merasa harus melakukan hal hal tidak penting dan tidak produktif. Istri mudah marah karena merasa tidak produktif lagi setelah menjadi istri dan memiliki anak. "Dulu bisa melakukan banyak hal, sekarang tidak bisa", demikian keluhnya.

Mereka merasa sangat banyak membuang waktu tanpa aktivitas yang "penting' dan memberikan kemanfaatan. Berbeda dengan sebelum menikah. Berbeda pula dengan ukuran di tempat kerja. Benarkah demikian kondisinya?

Penting untuk Melakukan Hal yang Tampak Tidak Penting

Sesungguhnyalah hidup berumah tangga memerlukan kesungguhan, perhatian, perawatan serta penjagaan. Ada cara dan seni tersendiri dalam merawat dan menjaga cinta kasih dalam kehidupan berumah tangga, yang tidak semuanya bercorak material.  Apabila suami dan istri tidak melakukan upaya perawatan dan penjagaan keharmonisan hidup berumah tangga, akan menyebabkan kelemahan sendi-sendi yang menyangga keutuhan keluarga. Tentu hal ini sangat berbahaya. Jika pondasi keluarga lemah, akan lemah pula bangunannya. Keluarga mudah goyah, cinta mudah layu bahkan punah.

Maka suami dan istri harus  selalu mengupayakan tindakan yang diperlukan dalam menjaga cinta kasih, merawat keharmonisan, menumbuhkan kebahagiaan dan mempertahankan keutuhan keluarga. Terkadang tindakan yang diperlukan untuk maksud itu sangatlah praktis dan terkesan tidak penting serta tidak produktif. Misalnya saja, jalan-jalan berdua, mengobrol berlama-lama, bercengkerama berdua, mengantar dan menjemput, menemani kegiatan, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun