Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menuju Penyehatan Keluarga

28 Juli 2016   16:26 Diperbarui: 28 Juli 2016   16:58 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk mewujudkan ketahanan keluarga, ada beberapa aspek yang sangat penting dan signifikan untuk mendapatkan perhatian. Pada tujuh postingan terdahulu, berturut-turut telah saya sampaikan tentang tentang aspek persiapan menjelang pernikahan (lihat ), aspek pembinaan hidup berumah tangga (lihat ), aspek pemberdayaan keluarga (lihat ), aspek pencegahan, aspek penyelesaian masalah, aspek pemulihan  dan aspek penyegaran .

Kesempatan kali akan saya sampaikan aspek penyehatan keluarga.Sebagai organisme hidup, keluarga juga bisa mengalami sakit. Untuk itu perlu upaya penyembuhan dan penyehatan ketika tengah sakit. Berbeda dengan masalah, sakit sudah mengindikasikan adanya gangguan berat yang bersifat klinis maupun psikologis. Kami di Jogja Family Center (JFC) selalu menyatakan bahwa semua keluarga pasti memiliki masalah, tidak ada keluarga yang tidak memiliki masalah. Yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah, bagaimana mereka keluar dari masalah itu.

Tidak demikian dengan sakit. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan bahwa semua keluarga itu sakit atau mengalami gejala penyakit. Ada banyak keluarga yang sehat, walaupun memiliki masalah. Namun ada keluarga yang memang sakit atau memiliki gejala penyakit.

Perbedaan “Masalah” dan “Sakit” Dalam Keluarga

Masalah adalah kesenjangan antara harapan ideal dengan kenyataan. Baik dalam skala individu maupun dalam skala keluarga. Itulah yang memunculkan pernyataan bahwa semua orang dan semua keluarga pasti memiliki masalah. Karena tidak ada satu orangpun atau satu keluarga pun yang hidup di zaman kita ini, yang seluruh harapan idealnya telah terwujud menjadi kenyataan. Rasanya itu mustahil. Ideal itu adalah semacam kriteria atau cita-cita dan daftar keinginan, sedangkan realitas yang kita hadapi selalu tidak sempurna. Maka muncul konsep tentang masalah.

Dengan pemahaman seperti itulah kita bisa menyatakan bahwa semua orang hidup di muka bumi ini selalu memiliki masalah. Mungkin hanya bayi yang merasa tida ada masalah. Orang dewasa selalu memiliki masalah dalam kehidupannya, entah lajang ataupun sudah berkeluarga, yang belum punya anak maupun yang sudah memiliki anak, yang anaknya satu maupun yang anaknya banyak, yang penghasilannya kecil maupun yang penghasilannya besar. Selalu ada saja permasalahan yang dihadapi dan harus diatasi. Inilah ciri kehidupan, dan ciri manusia hidup. Ada keinginan, ada harapan, namun tidak semua bisa didapatkan.

Sedangkan sakit, telah menunjukkan adanya kondisi yang spesifik, yang memerlukan perawatan, terapi atau penyembuhan dari ahli pada bidangnya. Beberapa ahli medis menyatakan, yang dimaksud dengan sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya. Sakit juga merupakan keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik dalam aktivitas jasmani, rohani dan sosial.

Dalam konteks yang lebih spesifik terkait mental atau jiwa, dikenal adanya penyakit jiwa atau gangguan kejiwaan, yang didefinisikan sebagai suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi psikologis atau perilaku, terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi.  Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang merupakan  penyimpangan dari suatu konsep normatif.

Maka, sebuah keluarga yang tengah “sakit”, berarti tengah mengalami gangguan fungsi normal sebagai keluarga. Suami dan istri tidak bisa melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, tidak bisa bekerja sama dalam sebuah tim untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, dan tidak bisa saling menikmati keindahan dalam kebersamaan. Mereka merasakan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk, sebagaimana kondisi orang yang tengah mengalami sakit, baik fisik maupun mental. Mereka memerlukan proses terapi penyembuhan dan penyehatan.

Keluarga yang tengah menghadapi konflik atau masalah, memerlukan konseling. Sedangkan keluarga yang tengah sakit, memerlukan terapi. Contoh yang sangat jelas untuk membedakan, mana yang berkategori “masalah” dan yang berkategori “sakit”, adalah pada gejala umum yang tampak pada keluarga tersebut. Sebagai konselor sosial, yang tidak profesional dan tidak profit, saya membedakan dengan sederhana. Jika suami dan istri datang ke ruang konseling masih bisa berkomunikasi dengan lancar, mampu bercerita, mampu mendeskripsikan masalah yang tengah dihadapi, dan anggota tubuhnya masih terkoordinasi dengan baik, maka itu adalah klien yang perlu dibantu memecahkan masalah mereka di ruang konseling.

Namun jika salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya, sudah tidak mampu berkomunikasi dengan baik, tidak bisa bercerita, tidak mampu mengungkapkan kondisi yang dihadapi, anggota tubuh sudah tidak terkoordinasi dengan baik, tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik, berbeda jauh antara pertanyaan dengan jawaban, maka mereka adalah pasien yang memerlukan proses terapi. Ini sudah diluar kapasitas dan kewenangan konselor sosial, karena memerlukan keahlian dan keilmuan untuk melakukan tindakan penyembuhan.

Sebagai konselor sosial yang bekerja berdasarkan panggilan jiwa untuk membantu orang lain, saya dan tim hanya membantu para klien untuk menemukan solusi terbaik atas masalah yang tengah mereka hadapi. Sedangkan untuk keluarga yang telah menampakkan gejala sakit atau penyakit, mereka memerlukan sentuhan ahli untuk terapi, sejak trauma healing, hingga tindakan psikologi, terapi psikiater, maupun terapi medis oleh para dokter. Ini adalah kawasan yang memerlukan otoritas dan lisensi, tidak bisa dilakukan oleh para relawan (helper) atau konselor sosial.

Kadang ada pasangan suami istri yang datang ke Jogja Family Center dalam kondisi yang memang sakit. Suami atau istri tidak bisa bercerita, tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana, bahkan anggota tubuhnya sudah tidak mampu dikoordinasikan dengan baik, seperti tindakan memberontak, teriak, histeris, mata memandang dengan tatapan kosong, berbicara tidak pada konteksnya, tangan dan gerakan tubuh tidak sesuai dengan isi ucapan, dan seterusnya. Orang seperti ini jelas ada gangguan kejiwaan atau mental, yang perlu ditolong oleh para ahli di bidangnya. Bukan oleh para helper dan para pekerja sosial seperti tim kami di Jogja Family Center.

Apabila ada anggota keluarga yang terindikasi mengalami gangguan jiwa, harus segera dilakukan upaya terapi untuk penyembuhan dan penyehatan. Karena masalah akan selalu datang berulang, apabila persoalan gangguan jiwa ini tidak diterapi dan disembuhkan. Mereka tidak sekedar memerlukan bantuan untuk mengurai permasalahan, karena yang tengah dihadapi adalah situasi sakit. Orang sakit harus diterapi sesuai konteksnya, apakah sakit fisik atau sakit mental kejiwaan. Sebagaimana keluarga sakit, mereka harus disembuhkan dan disehatkan, bukan diceramahi atau dinasehati.

Contoh lain adalah ketika salah seorang dari suami istri mengalami penyimpangan orientasi seksual. Pada contoh kasus suami yang mengidap gay, maka ia memerlukan terapi penyembuhan dan penyehatan. Demikian pula pada kasus istri yang mengalami penyimpangan lesbi, ia memerlukan tindakan serius untuk penyembuhan dan penyehatan. Karena normalnya hidup berumah tangga, sebagai suami dan istri mereka harus saling setia dengan pasangannya. Ketika pengidap gay dan lesbi tidak diterapi dan tidak disembuhkan, maka akan tetap menjadi penyakit yang bisa merusak fungsi normal sebuah keluarga.

Menuju Keluarga Sehat

Keluarga dikatakan sehat apabila memiliki kondisi sejahtera baik dari segi spiritual, mental, fisik, material dan sosial, yang memungkinkan keluarga tersebut untuk hidup secara normal dan layak dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini mencakup aspek-aspek yang sangat luas, karena kesehatan keluarga bermula dari kesehatan semua anggotanya, dan kesehatan mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi serta bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan hidup berumah tangga.

Keluarga yang tengah sakit tidak memiliki kondisi tersebut, baik dari segi spiritual, mental, fisik, material maupun sosial. Fungsi dan peran masing-masing pihak tidak bisa tegak sebagaimana semestinya, dan tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara positif, yang disebabkan karena adanya gangguan dari segi mental spiritual. Seorang suami yang tengah mengalami gangguan jiwa, bisa membuat suasana sakit semua anggota keluarga. Seorang istri yang mengalami sakit mental, bisa membuat suasana tidak sehat pada semua anggota keluarga.

Keluarga yang sehat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi secara dewasa dan bertanggung jawab. Artinya, kendati semua keluarga selalu menghadapi permasalahan, namun akan lebih mudah diselesaikan pada keluarga yang sehat. Pada keluarga yang tengah mengalami sakit, maka berbagai permasalahan menjadi tidak bisa diselesaikan dengan baik, atau memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan setiap masalah.

Tenaga yang bisa membantu orang yang tengah mengalami gangguan kejiwaan ---baik yang bercorak sosial murni maupun profesional--- sering disebut sebagai terapis. Ada sangat banyak pendekatan yang digunakan oleh para terapis dalam menterapi para pasien gangguan jiwa, sejak dari pendekatan spiritual, pendekatan pengubahan pola pikir, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan psikologi, ataupun pendekatan psikiatri, dan lain sebagainya. Pada contoh pendekatan spiritual, ada banyak istilah yang digunakan oleh para terapis, seperti pendekatan taubat nasuha, pendekatan aqidah, pendekatan ruqyah syar’iyah, pendekatan ingat kematian, dan lain sebagainya.

Ada yang berlandaskan teori yang dipelajari di bangku kuliah, di pesantren, atau pembelajaran di pengobatan alternatif, bahkan ada yang merupakan “ramuan” sendiri dari pengalaman praktis di lapangan. Ada yang diakui secara resmi oleh lembaga pemerintah yang berwenang, ada pula yang praktek secara natural dan langsung di tengah masyarakat untuk membantu mereka yang memerlukan. Semua memiliki pengalaman keberhasilan dan kegagalan, karena memang menyangkut dimensi yang sangat kompleks.

Namun, satu hal yang sangat penting adalah kesediaan, kerelaan, dan keterbukaan diri pasien untuk mendapatkan intervensi terapi. Apapun metode penyembuhan dan penyehatan yang dilakukan pihak lain, tetap bertumpu kepada diri sendiri untuk menuju kesembuhan total.

Bahan Bacaan

www.psikologi.or.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun