Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berhentilah Mencela Anak Anda!

7 Maret 2016   08:01 Diperbarui: 7 Maret 2016   08:14 5953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ayah sering menyebut saya 'si cacing' karena tubuh saya sangat kurus. Ayah juga sering berkata bahwa saya bukan anaknya, melainkan anak yang dipungut dari tempat sampah," ungkap Rudy mengenang masa kanak-kanak yang dialaminya.

Sebenarnya Rudy anak yang cerdas dan berpotensi besar. Terbukti ia mampu menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran dengan baik, dengan prestasi di atas rata-rata. Namun Rudy sangat membenci ayahnya, sekaligus membenci dirinya sendiri karena merasa begitu buruk dan tak berguna.

"Cacing dan tempat sampah adalah dua hal yang sama-sama menjijikkan," tambah Rudy. Ia terpaksa harus menjalani terapi kejiwaan.

Lihatlah, dampak dari celaan terhadap anak sangat mengganggu stabilitas kejiwaan si anak hingga dewasa. Bahkan setelah si anak ini dewasa dan membentuk keluarga sendiri melalui pernikahan, perasaan tertekan, tidak nyaman dan tidak berguna tetap saja menghantui jiwanya. Seorang dokter yang lulus dengan prestasi memuaskan dari Fakultas Kedokteran, namun menyimpan persoalan kejiwaan yang parah akibat perlakuan orang tua di masa kecilnya.

Hindari Celaan

Para orang tua, hindari mencela anak anda. Walaupun anda melakukannya hanya dengan bercanda, dan anda tidak bermaksud serius benar-benar mencelanya. Namun jika candaan yang mengandung unsur mencela itu konsisten anda lakukan terhadap anak, akan sangat mempengaruhi citra dirinya hingga dewasa. Jangan menganggap remeh soal celaan ini. Sayangi dan cintai anak anda dengan perlakuan dan kata-kata yang baik dan bijak.

Dr. Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents (2002) menjelaskan, kekerasan secara verbal terhadap anak bisa terjadi melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak. Contohnya adalah memberikan julukan-julukan seperti si bodoh, si dungu, si pemalas, si hitam, si gembrot, si monyong, termasuk menyebut anak sebagai "tak berguna" atau yang paling keras adalah menyatakan "menyesal telah melahirkannya". Semua itu akan berdampak jangka panjang terhadap perasaan anak, dan memengaruhi citra diri mereka di saat dewasa.

Yang kedua, kekerasan verbal secara tidak langsung. Ungkapan yang disampaikan orang tua bersifat tidak langsung kepada diri si anak, tetapi sangat menghina dan melecehkan mereka. Walaupun kadang orang tua mencela anak dengan nada humor atau canda, namun bercorak sarkastis. Misalnya ucapan "Lihat tuh ada si jelek yang lagi berulah... Dia kan dipungut dari panti asuhan.... Kalau anak Mama Papa pasti nggak kayak gitu deh…."

Jika si anak atau anggota keluarga lain memprotes ucapan kasar itu, orang tua akan membela diri dengan berkata, “Ah, itu 'kan cuma bercanda...." Orang tua semacam ini tidak menyadari bahwa canda yang keterlaluan seperti itu sangat menyakiti hati sang anak. Mereka juga lupa bahwa anak-anak sangat mempercayai apa yang diucapkan orang tuanya. Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi anak-anak untuk membedakan apakah ucapan orang tua mereka itu serius atau hanya bercanda.

Berhentilah mencela anak anda, seperti apapun kondisinya. Anda wajib membina, mendidik, membersamai proses tumbuh kembangnya penuh dengan kesabaran dan kebijakan. Bukan mencela dan mengejeknya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun