Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berhentilah Mencela Anak Anda!

7 Maret 2016   08:01 Diperbarui: 7 Maret 2016   08:14 5953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sudahlah, Mama saja yang membawa tas dan memakaikan sepatu adik”, ucap Evie setelah menyelesaikan urusan di dapur.

Tiba-tiba Arman mengangkat tas dan membawanya masuk ke mobil. Setelah itu, ia kembali lagi masuk ruangan untuk merapikan mainan. Akhirnya Ifa memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Evie mengunci pintu rumah dan menyusul masuk mobil.

“Kalian ini selamanya tidak mau mendengar perintah Papa. Cobalah lain kali tidak usah diperintah, kalian sudah harus bisa membantu pekerjaan Papa dan Mama. Kalian ini sudah besar, jangan suka membangkang dan membantah”, Andri masih memarahi mereka sembari menghidupkan mesin mobil.

“Masak aku terus yang disuruh-suruh, ya aku jadinya gak mau”, Ifa membela diri.

“Jangan membantah lagi Ifa. Karena kamu anak Papa yang paling besar, jadi harus sudah bisa membantu tanpa disuruh lagi. Masak Papa mau menyuruh Naila yang masih kecil?”, Andri tak mau kalah.

Coba perhatikan kejadian di atas, berapa banyak celaan dilakukan Andri kepada anak-anaknya, dan betapa kebaikan anak dalam kisah tersebut tidak mendapat apresiasi pujian sama sekali. Misalnya ketika Arman mengangkat tas mama dan membawanya masuk ke mobil. Juga ketika Arman kembali masuk rumah untuk merapikan mainan. Demikian pula ketika Ifa memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Itu semua jelas kebaikan anak-anak, namun tidak ada apresiasi positif sama sekali.

Yang terlontar dari Andri hanyalah kata-kata celaan atas ketidaksiapan dan ketidaktaatan anak-anak menjelang berangkat tadi. Seakan-akan ada kepuasan dan kesenangan tersendiri pada orang tua setelah bisa mencela dan memarahi anak-anak. Padahal celaan semacam itu bisa menyakitkan hati anak-anak.

Lihatah Dampak Mencela !

Rudy adalah seorang dokter. Secara ekonomi, ia sudah mapan. Wajahnya tampan, tubuhnya atletis, rambutnya hitam lebat. Usianya belum genap 50 tahun. Rudy benar-benar gambaran lelaki yang ideal dan layak mendapat banyak pujian dari orang di sekitarnya. Namun, di balik gambaran ideal itu, Rudy memiliki problem kejiwaan yang sangat besar. Setiap kali berbicara, suaranya sangat lirih dan pelan, sehingga pasien maupun teman bicaranya sering kesulitan untuk mendengarkan ucapannya.

"Saya sangat sensitif terhadap kata-kata orang lain. Saya selalu berpikir bahwa setiap orang pasti menertawakan saya. Sepertinya istri saya selalu mengejek saya, begitu juga pasien saya. Pada tengah malam saya selalu terbangun, lalu merenungkan setiap kata yang diucapkan orang-orang hari itu kepada saya," cerita Rudy, yang sempat mengira dirinya sakit jiwa.

Ketika ditelusuri, ternyata di masa kecilnya ia selalu menjadi bahan ejekan dan celaan sang ayah. Tanpa disadari sang ayah, Rudy kecil memendam rasa malu yang luar biasa. Ia merasa sakit hati dan terhina setiap mendengar sang ayah mencela dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun