Mohon tunggu...
Syam Jabal
Syam Jabal Mohon Tunggu... Human Resources - ASN

tukang burung (http://gudangjalakklaten.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anakku Lupa Ku Titipkan

12 Januari 2015   23:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengikuti talk show siang ini, buat saya sungguh sangat mengharukan. Tema yang apik dan actual, nara sumber yang sangat berbobot dan host yang kocak, membuat saya betah menyimak dari awal sampai akhir.

Acara ini telah membolak-balikkan suasana hati saya; kadang terhenyak, mata terbelalak, hati terharu, karena tema ini sangat actual buat keluarga kami. Berpuluh bahkan mungkin beratus kali kami mendiskusikan bersama keluarga; istri dan anak-anak. Dan siang ini seakan menjadi muara bagi ratusan diskusi kami yang selama ini hampir selalu berujung pada ungkapan “seharusnya begini, seharusnya begitu”

Talk show yang digelar oleh komunitas tarbiyah Klaten yang mengambil tema “Tarbiyah Anak, Kunci Menuju Kejayaan Ummat”, ini menghadirkan nara sumber yang sangat kompeten yaitu Bapak DR Wiranto, M.Com M.Cs dengan host Bapak Y. Winardi SE, Msi. Hadir dalam acara ini para pegiat tarbiyah Klaten yang memiliki anak minimal sudah duduk di kelas IV Sekolah Dasar.

Nara sumber yang juga dosen di Universitas Sebelas Maret ini adalah tokoh sentral bagi dunia “pendidikan alternative” di Wilayah Surakarta khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Beliau adalah pemain lama di dunia pendidikan khususnya di komunitas Jaringan Sekolah Islam Terpadu sehingga gaung nama besarnya juga telah merambah gugusan pulau-pulau di Nusantara tercinta ini.

Saya hadir bersama istri saya. Istri saya kebetulan memang seorang ‘guru’ tulen, yang dulu telah menetapkan FKIP UNS jurusan matematika, sebagai jembatan untuk mewujudkan mimpinya sebagai guru. Karenanya dia sangat menikmati acara ini.

Beberapa kali saya lihat buliran bening menetes dari matanya. Mudah mudahan tetesan air matanya ini adalah bukti komitmen baru dalam keluarga kami untuk mendongkrak mutu tarbiyah bagi anak-anak kami. Semoga ini bukan tangisan akibat minimnya peran pendidikan bapaknya anak-anak kami, apa lagi kalau sekedar menangis terharu karena harga burung jalak bali yang mulai terdongkrak lagi ( maklum saat ini kami adalah keluarga penangkar burung jalak bali ).

Sebagai guru dari anak-anak kami beliau memang sangat concern dengan keberlangsungan tarbiyah anak-anak. Dan harus diakui bahwa mayoritas memang begitulah fikiran ibu-ibu. Bagi mereka, peran ayah dalam pendidikan anak sering menjadi hot isu di forum-forum mereka. Padahal di kalangan bapak-bapak persoalan ini tidak pernah jadi masalah penting. Kecuali hanya sebagian kecil saja.

Tapi anehnya di forum talk show ini nara sumber ( laki-laki ) sepertinya malah ngelink dengan “keributan di kalangan ibu-ibu” ini. Terbukti nara sumber malah lebih berpihak kepada kaum ibu-ibu. Terasa sekali nara sumber lebih membidik kalangan ayah yang lebih beliau harapkan menjadi aktor tarbiyah bagi anak-anaknya dibandingkan dengan ibu sebagai aktrisnya.

Hal ini cukup aneh, sebab audien dari acara ini adalah pasangan suami istri yang mayoritas selama ini telah “mempercayakan sepenuhnya” urusan pendidikan anak-anaknya ke pundak istrinya. Kenapa dipercayakan ke pundak istri secara penuh ? Suami yang baik adalah suami yang selalu khusnudzon kepada istrinya, kira-kira begitulah jawaban mereka.

Tentu saja kami para suami memiliki argument tersendiri, kenapa kami menyerahkan ke pundak istri ? Ini bukan sembarang menyerahkan amanah, karena argument kami jelas yaitu karena dia itu adalah ibunya. Ada apa dengan ibu . . . ?



karena dia ibunya, sehingga kasih sayangnya bisa mengobati luka hatinya

beda dengan kami para bapak, alih-alih mengobati luka hatinya

yang terjadi malah menambah berdarah-darah lukanya

iya to ?

-

karena dia ibunya, sehingga kelembutannya bisa menenteramkan gejolak hatinya

beda dengan kami para bapak, alih-alih menenteramkan gejolak hatinya

yang terjadi malah membakar amarah dirinya juga amarah bapaknya

perang deh ?

-

karena dia ibunya, sehingga kepeduliannya bisa merampungkan PR sekolahnya

beda dengan kami para bapak, alih-alih merampungkan PRnya

yang terjadi malah menambah beban dirinya juga ibunya

malah bubrah to ?

-

karena dia ibunya, sehingga stok sabarnya berlapis-lapis

beda dengan kami para bapak, alih-alih menyimpan stok sabar

yang terjadi malah . . . sabar ya mi . . . abi memang orangnya begini . . .

gubrak . . . nah sabar itu penting to ?

-

karena dia ibunya, naluri keibuannya membuatnya bisa lebih dekat dengan anak-anaknya.

beda dengan kami para bapak, karena kami lebih banyak di lapangan

kami lebih terbiasa dengan persaingan bahkan pertempuran

he he he . . .hebat to ?

-

karena dia ibunya, sehingga dia lebih dekat dengan tema-tema kewanitaan

beda dengan kami para bapak, kami lebih concern dengan masalah kepanduan

sehingga kami stressingnya masalah keberanian dan kepahlawanan

push up kamu . . . .. gagah to ?

-

jadi jangan kira kami para suami tidak memiliki argument

dan harap kamu tahu ya, kami bukan sekedar memiliki argument

karena kami adalah pemilik argument itu sendiri

bahkan pabrik argument sudah kami beli

-

tahukah kamu apa artinya argument ?

argument itu alasan

alasan itu alat

alat dengan segala fungsinya, . . . tergantung . . .

-

Argumennya keren to ? Cukup ya, sekarang kita balik ke acara lagi.

-

Dalam pemaparan yang bertajuk “Dari Keluarga Segalanya Bermula” ini, nara sumber mengawali slidenya dengan sebuah kalimat yang mengingatkan audien tentang ‘kesaktian’ dari sifat sholih dengan mengutip wasiat dari Kholifah Umar bin Abdul Aziz “ . . .adapun tentang anak-anak saya, jika mereka adalah orang-orang yang sholih maka Allah akan mencukupi hidupnya.”

Kata Pak Wir sapaan akrab beliau, sholih itu multi dimensi. Bahasa Indonesia menterjemahkan kata sholih menjadi kata kebaikan yaitu segala entitas yang memiliki unsure “baik”. Sebagaimana terjemahan pada umumnya, terjemahan ini hanya memberi arti pada makna katanya, tanpa bisa mengusung ruh yang dikandungnya.Maksudnya ?

Kata para ahli, dalam Al-Qur’an ada lima kata yang masing-masing secara terminology bermuara pada kebaikan.

Pertama Khair, ini kebaikan universal yang masih cair dan keberadaannya sangat ruhaniah. Inilah kebaikan yang bersifat fitrah, yang dimiliki semua orang. Dia adanya baru ti level kesadaran sehingga belum memiliki bentuk apa lagi formula. Di sinilah misalnya, keadilan itu bersemayam.

Ke dua Ihsan, ini merupakan kebaikan yang lahir murni dari dalam diri seseorang

Ke tiga Ma’ruf, ini adalah kebaikan yang sudah memiliki definisi karena sudah dirumuskan, dan bahkan sudah diramu dalam bentuk bentuk pasal-pasal hukum. Ma’ruf artinya sesuatu yang sudah diarifi bersama-sama, disepakati tentang kebaikannya.

Ke empat sholih adalah kebaikan yang sudah diuji sejarah di lapangan sehingga mungkin mengalami verifikasi, koreksi, amandemen-amandemen baik secara sadar dalam kerja-kerja terserstruktur maupun dalam jalur budaya yang berjalan tanpa rekayasa.

Ke lima Birr, (kata sifatnya mabrur), ini adalah kebaikan yang khusus dilekatkan kepada orang yang sudah menempuh ibadah haji.

Dari sini jelas kalau menterjemahkan kata sholih dengan makna kebaikan, maka fokusnya gak kena. Karena terjemahan itu memborong semua makna di atas. Karena dia sifatnya borongan maka di samping tidak focus juga ruhnya gak nyangkut, iya toh ?

Misalnya kalau kamu menyebut kata burung, maka orang hanya akan mengingat burung dengan hambar. Beda jika secara spesifik kamu menyebut burung jalak bali. Dengan menyebut kata burung jalak bali maka semua muatan berkaitan dengan burung jalak bali akan terbayang; ini burung langka, di Indonesia sudah hampir punah, burungnya cantik berwarna putih cemerlang, harganya mesti mahal itu, karena harganya mahal maka bisnis penangkarannya mesti ngeri-ngeri sedap dan lain-lain.

Maka ketika Imam Syafi'i mengungkapkan “kebaikan” tertentu yang telah dia bidik sebelumnya, maka beliau menulis "Aku senang terhadap orang sholih meskipun aku bukan termasuk orang sholih. Aku tidak senang dengan orang yang jahat,meskipun seandainya aku orang yang suka berbuat jahat sekalipun."

Dalam puisi itu beliau memilih untuk menggunakan kata “sholih”. Jadi jelas yang beliau maksud adalah kebaikan yang riil. kebaikan yang biasa hidup di masyarakat, yang bersifat dinamis, siap tumbuh menjalar dan siap dirampingkan jika pertumbuhannya liar. Sholih yang benar dari sisi konsepsi dan kemampuan untuk menerapkan dalam hidup sehari-hari baik dalam kontek pribadi maupun sosial.

Karena itu, bagi nara sumber visi pendidikan anak yang terbaik pada dasarnya adalah visi tentang kesholihan itu sendiri. Dan sepanjang pengalaman beliau, kesholihan anak memerlukan perekayasaan, karena dia tidak muncul dengan sendirinya. Kesholihan tidak boleh dibiarkan tumbuh sendiri. Karena itu tarbiyah menjadi wajib karena dia yang menjadi kunci dari terbentuknya kesholihan tersebut. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih maala yatimmul waajibu illa bihi, fahuwa wajib.

Terkait dengan perekayasaan kesholihan ini, ada pengalaman menarik dari nara sumber yang biasa di sapa Pak Wir ini. Salah seorang anak beliau yang sekarang kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, konon pernah menjadi anak yang “memberontak” di forum pengajiannya. Sifat ini tentu tidak beliau temukan selama menjalani tarbiyah di Solo.

Beliau turun tangan, menyelesaikan masalah ini. Beliau turun ke lapangan, mengumpulkan berbagai informasi di sekitar tarbiyahnya di Surabaya. Akhirnya beliau mengetahui di mana letak persoalannya. Ternyata persoalannya adalah anak ini kurang nyaman di forum barunya. Ini sebenarnya hal yang lazim dialami oleh orang-orang yang baru melakukan migrasi ke kota lain.

Anak beliau sudah aktif ngaji sejak SMP, setelah kuliah ternyata dia digabungkan dengan pengajian yang baru. Maka di forum yang baru ini dia mendapatkan materi maupun ‘rasa’ tarbiyahyang sudah dia dapatkan selama enam tahun tarbiyah sejak SMP sampai SMU dulu. Sehingga suasananya dirasa kurang greng lagi.

Atas pesoalan tersebut maka beliau sebagai seorang ayah mengkomunikasikan dengan penanggung jawab tarbiyah di Suarabaya. Selesailah persoalan. Dan anak beliau sekarang menjadi anak manis yang sangat produktif di dunia dakwah.

Bagaimana beliau bisa mengkomunikasikan persoalan tarbiyah anaknya begitu cepat dengan solusi yang pas bagi si anak ?

Beliau ini orang yang keukeuh memegang prinsip bahwa kepindahan seseorang ke kota lain pada dasarnya bukan sekedar migrasi fisik. Karena itu, maka beliau selalu mengawal perpindahan setiap anaknya secara fisik dan mental sekaligus. Beliau selalu mendatangi “pelaku tarbiyah” di kota di mana sang anak melakukan migrasi untuk menitipkan anaknya kepada para pelaku tarbiyah di sana. Beliau mendatangi langsung, bersilaturahim bersama anaknya sekaligus untuk kemudian menitipkannya kepada para pelaku tarbiyah di sana. Karena itu ketika ada batu sandungan dalam tarbiyahnya, maka akan simple saja jalan penyelesaiaannya.

Sampai di sini sebenarnya saya pribadi memiliki pengalaman yang sama dengan nara sumber, hanya saja kematangan saya dalam tarbiyah ini berada dua level di bawah beliau, sehingga pensikapan saya terhadap kasusnya juga jauh di bawah beliau.

Tiga tahun lalu, saat anak saya harus bermigrasi ke kota lain karena alasan studi, saya menghubungi ketua KAMMI komisariat wilayah tersebut untuk meminta tolong agar disambungkan dengan komunitas tarbiyah di wilayahnya. Saya waktu itu tidak bersilaturahim kepada para stake holder tarbiyah di wilayahnya. Dan ternyata inilah salahnya. Seharusnya sebagai seorang ayah saya bertindak pesis seperti yang dilakukan pak Wir. Saya bersilaturahim langsung bukan melalui telepon.

Tapi baiklah itu kesalahan masa lalu yang tentu saja ini sebuah kesalahan yang tidak bakal saya ulangi agar tidak menimpa adik-adiknya kelak. Agar keberlangsungan tarbiyah mereka bisa berjalan dengan mulus.

Sampai disini diam-diam saya mengakui, bahwa Pak Wir memang benar. Urusan pendidikan anak itu bukan urusan ibunya saja. Bahkan mungkin kalimat inipun harus diganti dengan kalimat yang lebih bertanggungjawab “pendidikan anak adalah urusan ayahnya”

Terus sekarang, dalam kontek kesholihan anak-anak, apa visimu sebagai seorang ayah ?

Ini visiku. Ini hanyalah visi seorang penangkar burung jalak bali yang hidup di kampung yang sekarang sedang sedang berperan sebagai seorang ayah. Biarpun hanya seorang penangkar burung yang hidup di kampung, kami juga berhak untuk memiliki visi yang tinggi dan jauh. Bukankah tukang mebel di solo sekarang jadi presiden ? Maka tukang burung mesti memiliki visi tentang anak-anaknya yang lebih tinggi dari presiden. Mebel kan adanya di tanah, burung adanya beberapa meter di atas tanah iya to ? Tukang burung kok dilawanxe…xe…xe…

Apa visi tukang burung tentang anak-anaknya ? Anak-anak mesti melebihi presiden. Apa itu ? Menjadi anak-anak yang sholih, insya Allah.

-

wahai diriku

sadarilah bahwa dirimu adalah ayah dari anak-anakmu

ayah yang sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anakmu.

karena itu penting untuk selalu mencermati setiap krenteg ati dan bersitan fikiran yang berproses di dalam dirimu, perhatikan asal-usul kebenaran dan kepantasannya, agar bisa ditimbang cocok dan tidaknya bagi kehidupan anakmu kelak. Karena kelak dialah actor penting di jamannya.

-

wahai diriku

sadarilah bahwa dirimu adalah ayah dari anak-anakmu

ayah yang sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anakmu.

karena itu penting untuk selalu mencermati setiap entitas yang memasuki hatimu dan mensuplai data fikiranmu; verifikasilah manfaat dan madhorotnya agar bisa dimonitor tingkat efektifitasnya bagi kehidupan anakmu kelak. Karena kelak dialah actor penting di jamannya.

-

wahai diriku

sadarilah bahwa dirimu adalah ayah dari anak-anakmu

ayah yang sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anakmu.

karena itu penting untuk selalu mencermati setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, seleksilah asal-usul material dan kaifiyat dalam memperolehnya untuk menentukan status halal haramnya agar tidak mengganggu pertumbuhan anakmu kelak. Karena kelak dialah actor penting di jamannya.

-

wahai diriku

sadarilah bahwa dirimu adalah ayah dari anak-anakmu

ayah yang sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anakmu.

karena itu penting untuk selalu mencermati setiap kata dan intonasi yang keluar dari tenggorokanmu, perhatikan keabsahan etika dan keindahan estetikanya sebagai material untuk membangun moralitasnya kelak. Karena kelak dialah actor penting di jamannya.

-

wahai diriku

sadarilah bahwa dirimu adalah ayah dari anak-anakmu

ayah yang sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anakmu.

karena itu penting untuk selalu mencermati setiap langkah kaki dan gerak tanganmu, perhatikan keterkaitan sunah dan bid’ahnya untuk menentukan petanya dalam pandangan ulama dan intelektual agar kelak bisa dijadikan rambu dalam hidupnya. Karena kelak dialah actor penting di jamannya.

-

Robbana hablana min azwajina, wa dzurriyatina qurrota a’yun waj’alna lil muttaqina imama, aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun