Perempuan paruh baya itu menantang waktu dan kodrat. Ia memunggut sepi yang piatu dan merawatnya di lembah kesunyian. Tak hiraukan masa yang selalu menggerogoti usia, ia terus melangkah dengan mantap seorang diri.
Rambut yang lurus sebahu, selalu tertutup kerudung, binar matanya tak pernah menampakan kedukaan sedikitpun, walau sebuah luka masih merah di dalam hatinya.
Deretan putih, di antara rekah bibir mungil tak bisa lepas dari mataku. Semenjak awal tatap beradu tadi, ada gelisah, debar yang menyanak, rasa malu tapi pandangku tak mau berpaling dari wajahnya.
Kejadian tanpa sengaja itu telah meluruhkan hatiku. Entahlah, seperti menemukan pelangi di musim kemarau.
"Tak seharusnya kamu berjalan seorang diri, Mer. Bukankah selayaknya ada tempat berkeluh-kesah?"
Merry hanya tersenyum mendengar pertanyaanku, sepertinya ia mengerti ke mana arah pembicaraan selanjutnya.
Kunikmati wajah ayunya yang sedang meneguk secangkir kopi. Bibirnya masih mengulum senyum. Suasana santai di warung lesehan depan setasiun kereta api, tempat orang-orang membuang kejenuhan. Kebanyakkan pengunjungnya berpasangan.
"Suatu saat nanti, kalau Tuhan memberiku jodoh, pasti kuserahkan seluruh hidupku untuknya, Mas," datar suara jawabannya.
"Sampai kapan menyimpan hatimu?"
Merry mendesah, aku merasakan ada keraguan menyusup dalam hatinya. Mungkin seperti remang tempat kami walau suara riuh karena ramainya pengunjung, sedang dingin semakin memainkan perasaanku.
"Entahlah, yang pasti, saat ini membesarkan kedua anak dengan tanganku sendiri adalah sebuah prioritas," suaranya sedikit bergetar.