Mohon tunggu...
pagar sianipar
pagar sianipar Mohon Tunggu... Guru - pekerjaaan: guru sejarah di SMAK 5 PENABUR Jakarta (sejak 2010 hingga sekarang)

Guru sejarah di SMAK 5 PENABUR Jakarta (sejak 2010 hingga sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendidikan Agama, Agama Pendidikan

24 Maret 2021   10:46 Diperbarui: 24 Maret 2021   11:16 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebebasan menurut Immanuel Kant (1724-1804) adalah nilai tertinggi bagi manusia. Kemuliaan manusia akan terjun bebas apabila ia tunduk ataupun taat kepada suatu keharusan yang tidak diyakini sendiri. Itulah inti nilai dari gagasan dari etika Imamnuel Kant (Franz Magnis-Suseno, 2018: 157).  

Pendidikan sejatinya membebaskan manusia dari kebodohan, keterasingan, dan kebebalan. Pendidikan mengentaskan manusia dari lembah kebutaan yang gagal membaca rahasia alam. Pendidikan sepantasnya menawarkan ke-kita-an sehingga kita tidak merasa terasing di lingkungan yang kita huni. Pendidikan juga sewajarnya mengikis kebebalan kita yang sering menutup telinganya dari kebenaran yang memerdekakan.  

Dunia pendidikan Indonesia saat ini tersudut oleh kasus praktik intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang. Elianu Hia mengunggah tayangan video di akun Facebook-nya (21/1/2021). Video itu memperlihatkan adu argumen antara Elianu dan Wakil Kepala SMK Negeri 2 Padang, Zakri Zaini. Elianu mengaku dipanggil pihak sekolah karena anaknya tidak mengenakan jilbab. Putrinya tidak mengenakan jilbab karena bukan Muslim.

Agama dalam sejarah nenek moyang bangsa Indonesia sebagai sumber inspirasi merupakan fakta keras yang tidak terbantahkan. Nenek moyang kita ketika hidup dalam sistem kerajaan meninggalkan catatan yang gemilang tentang baik kerukunan maupun kerja sama antarumat beragama. Candi Borobudur yang bercorak agama Budha dan Candi Prambanan yang bercorak agama Hindu dapat hidup berdampingan. Keduanya bahkan merupakan mahakarya dari Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh dua dinasti yang berbeda agama.

Para pendiri bangsa kita sepakat menjadikan Pancasila etika politik berbangsa dan bernegara yang sangat visioner setelah satu hari merdeka.  Praktik intoleransi dalam kehidupan antarumat beragama yang masif dan dilegalkan oleh negara justru terjadi 24 tahun kemudian. Ada SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama K.H. Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada 13 September 1969 membatasi kebebasan beragama kaum minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. Selain kaum minoritas harus susah payah mengurus perizinan mendirikan bangunan, mereka harus mendapat persetujuan dari warga sekitarnya. Keberadaan SKB itu sebenarnya inskonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29.  

Pemerintah seharusnya hadir menaungi semua agama. Tidak ada warga kelas satu dan warga kelas dua. Namun, negara dalam praktiknya hanya membiayai sekolah dan perguruan tinggi agama mayoritas. Tidak satupun sekolah atau perguruan tinggi Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu yang mendapat status sebagai sekolah negeri. Hal tersebut menandakan praktik diskriminasi dan politisasi pendidikan yang kasat mata.  

Pendidikan agama dalam konteks Indonesia seharusnya tidak hanya menjabarkan dogmatika, tetapi mampu mengajarkan "agama pendidikan". Agama pendidikan sejatinya agama yang menawarkan pengajaran agama yang terbuka serta mendidik warga negara untuk memiliki etika tanggung jawab. Muhammad Amin Abdullah (guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dalam Webinar Membangun Saling Memahami Antara Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai Keluarga Abrahamik sepakat dengan Hans Kung dan Ebrahim Moosa yang menyatakan bahwa "setiap pemahaman dan penafsiran agama sekarang harus mau dan bersedia untuk diukur, diuji dan dichek melalui kaidah dan kriteria umum etika manusia universal." Webinar tersebut diprakarsai Institut Leimena dan dibuka oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas pada 18 Januari 2021. Oleh karena itu, tanggung jawab kita sebagai warga negara dan warga dunia tidak boleh dikerdilkan oleh identitas keagamaan kita.  

Kerja sama antarumat beragama adalah modal sosial yang harus dirawat. Jargon toleransi antarumat beragama terbukti kurang mampu memperkuat kohesi sosial. Konflik agama di Maluku pasca Reformasi adalah buktinya. Kita yang bersaudara sebangsa dan setanah air dapat dipecah belah oleh perbedaan agama. Banser NU yang terpanggil menjaga gereja ketika perayaan Natal pasca pemboman gereja di Indonesia merupakan bukti nyata modal sosial kehidupan keagaaman di Indonesia belum bangkrut. Masyarakat Muslim dan Kristen di Kabupaten Fakfak (Papua Barat) memberi teladan yang baik dalam hal kerja sama antarumat beragama. Masyarakat Muslim di Fakfak membersihkan gereja ketika Natal; masyarakat Kristen di Fakfak membersihkan masjid ketika Idul Fitri. Berbagai kearifan lokal lainnya tentu masih membentang dari Timur hingga Barat Indonesia.
Pendidikan agama di sekolah perlu berbenah. 

Pendidikan agama harus mampu membangun manusia Indonesia yang kosmopolitan sehingga mampu memahami sesamanya yang berbeda keyakinan. Muatan agama pendidikan yang diajarkan harus mampu memberikan rahmat bagi alam semesta. Jangan biarkan sebuah keraguan kembali menyeruak di sudut warung kopi: "Indonesia sulit maju karena selalu terbelenggu masalah agama!"*** (Pagar Sianipar, guru SMAK 5 PENABUR Jakarta)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun