Mohon tunggu...
Takhta Pandu Padmanegara
Takhta Pandu Padmanegara Mohon Tunggu... Strategist -

Lead Strategist, Communicaption

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Indonesia Sekarang Sering Bertengkar? Ini Penyebabnya!

20 Maret 2017   14:27 Diperbarui: 21 Maret 2017   00:00 2720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
© 2017 Communicaption

© 2017 Communicaption
© 2017 Communicaption
Perlu diketahui bahwa Facebook dan beberapa media sosial menerapkan konsep social graph yang menghubungkan pengguna dengan hubungan sosial  seperti keluarga, rekan kerja, dan teman sekolah; atau konsep interest graph yang menghubungkan pengguna dengan kesamaan kesukaan, seperti ideologi, pandangan, topik, hobi, benda, dsb.

Pada awalnya, Facebook seringkali mengulang pernyataan mengenai misinya untuk memberi kekuatan terhadap masyarakat dalam berbagi dan membuat dunia lebih terbuka dan terkoneksi. Namun, Mark Zuckeberg mengakui bahwa terdapat masalah serius yang membuat Facebook harus melakukan upaya lebih untuk dapat memerangi kesalahan informasi. Ia juga memilih untuk berbicara tentang bagaimana platform sosial dapat mengakibatkan polarisasi. 

Sebagai jejaring sosial dengan pengguna sebanyak 1,86 triliun, Facebook telah mendorong pengguna untuk memiliki sudut pandang politik yang lebih ekstrim. Meskipun hal tersebut juga dilakukan oleh media lain seperti radio, TV, koran, dan Twitter, namun kontribusi Facebook terhadap polarisasi terkesan lebih besar. Hal ini disebabkan oleh persaingan antarmedia sosial yang sangat ketat sehingga menuntut semua media sosial untuk berinovasi. Di antaranya adalah Facebook dan Google yang berinovasi menggunakan sistem algoritma baru untuk menyuguhkan berita yang diinginkan pengguna. Dengan sistem algoritma ini muncullah echo chamber, yaitu situasi dimana pengguna hanya melihat sebagian berita yang sering dikonsumsi (like, klik, share) sehingga difusi informasi hanya terbatas pada berita itu-itu saja. Hasilnya, pengguna hanya akan melihat berita dari perspektifnya dan terjadi false-concensus effect yang membuat pengguna cenderung menganggap pengguna lainnya memiliki pemikiran dan tindakan yang sama. 


Di sisi lain, algoritma juga sering memunculkan versi ekstrim dari isu-isu atau berita yang bertentangan dengan pengguna sehingga membuat pengguna menjadi lebih ekstrim dan mudah terprovokasi. Hal ini dapat pula menimbulkan bias konfirmasi, yang di dalamnya orang-orang hanya akan mencari berita yang mendukung pemikirannya dan mengabaikan fakta lain yang menyatakan sebaliknya. Berdasarkan hasil survei Mastel tentang wabah hoax nasional, kebanyakan orang meneruskan berita yang diperoleh dari orang yang dipercaya dan mengira informasi tersebut mengandung kebenaran dan manfaat bagi orang lain. 

Sementara itu, pandangan lain yang bersifat lebih moderat menjadi terkalahkan oleh dua kubu yang saling bertentangan tersebut. Selain itu, pola berpendapat yang terbangun di media sosial bukan lagi diskusi sehat, melainkan adu argumen yang menganggap pihak yang bertentangan sebagai pihak yang salah. Hal ini disebabkan oleh pola komunikasi tidak langsung yang terjadi hanya sebatas di dunia maya sehingga tidak ada penyampaian gestur, mimik, dan nada bicara yang mampu meningkatkan respek pada pengguna seperti halnya pola komunikasi di dunia nyata. Selain itu, polarisasi juga dapat terjadi karena pola penerimaan informasi yang didominasi perilaku membaca cepat (scanning) atau membaca sekilas (skimming) tanpa mengonfirmasi kebenarannya.

“For too many of us it’s become safer to retreat into our own bubbles, whether in our neighborhoods, or on college campuses, or places of worship, or especially our social media feeds, surrounded by people who look like us and share the same political outlook and never challenge our assumptions.”
- Barrack Obama

Apa Solusinya?

Facebook mengakui bahwa terjadi polarisasi di media sosial dan mereka sedang berusaha untuk memperbaikinya, seperti pernyataan Mark Zuckerberg.

“At its worst, it oversimplifies important topics and pushes us towards extremes. Polarization exists in all areas of discourse, not just social media. It occurs in all groups and communities, including companies, classrooms and juries, and it's usually unrelated to politics.”
- Mark Zuckerberg

Bagi saya pribadi, media sosial seperti dua mata pisau; bisa membawa manfaat dan bisa membawa petaka jika kita tidak bijaksana dalam menggunakannya. Mengonsumsi berita/post dari media sosial tanpa mengonfirmasi kebenarannya membuat kita menjadi mudah terpolarisasi sehingga terjebak pada subjektivitas sebagian golongan yang memiliki perspektif serupa. Untuk itu, coba ikuti beberapa langkah berikut:

  • Pastikan selalu mengecek kredibilitas sumber berita.

  • Berpendapatlah di media sosial dengan cara-cara yang sopan, komunikatif, dan mampu membawa perubahan yang baik; hindari adu argumen yang bersifat menjatuhkan pihak lain.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
    Lihat Inovasi Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun